Tuesday, May 13, 2008

Ijtima’ Wadzifah Hailalah

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Ijtima Wadzifah Hailalah (IWH) adalah kegiatan berdzikir lailaha illallah secara berjama’ah. Ini adalah amalan lazim Tarekat Tijaniyah. IWH dilaksanakan setiap hari Jum’at Ba’da Ashar sampai Magrib. IWH telah dimulai sejak masa kepemimpinan KH. Ismail Badruzzaman sebagai konsolidasi kepemimpinan. Pada saat itu penyelenggaraannya masih sangat terbatas yakni di tempat Tarekat Tijaniah generasi awal seperti Al-Falah Biru, Cimencek, Mulabaruk, Cisanca dengan kehadiran jamaah sekitar 1.000-2.000 orang. Materi ceramah yang dikemukakan dalam ijtima tersebut belum meyentuh substansi ajaran tarekat tetapi masih membicarakan hal-hal umum seperti kaitan Tarekat Tijaniah dengan syari’at dan sekitar pembicaraan tentang berkah mengikuti ajaran wali dalam hal ini Tarekat Tijaniyah selebihnya materi-materi umum yang tidak bersentuhan langsung dengan Tarekat Tijaniyah. Tidak heran pada waktu jamaah mempersepsi ajaran Tarekat Tijaniyah sebagai amalan littabaruk dan cenderung tidak mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan tarekat.
Setelah dikaji kitab yaqutatulfaridah disosialsasikan melalui IWH yang dirasakan muncul sebuah keberkahan dalam bentuk pengembangan jamaah dimana ijtima pada tahap ini melintasi lingkup daerah-daerah Tijaniah pada basis awal dan ijtima dilakukan antar kecamatan di Kab. Garut bahkan antar kabupaten seperti ijtima di Masjid Agung Garut, Mesjid Besar Kodya Bandung dan Taikmalaya. Melalui IWH inilah Tarekat Tijaniyah berkembang pesat. Sampai sekarang ijtima tidak kurang diikuti sekitar 5.000-10.000 jamaah dari total jamah sekitar 20.000 yang meliputi Garut dan Bandung. Orang yang meliputi kab. Garut yang tersebar hampir disetiap kecamatan. Melalui ijtima dimaksud secara langsung atau tidak langsung diajarkan tentang Tarekat Tijaniyah dan ini menarik orang untuk ingin tahu dan selanjutnya mengikuti amalan Tarekat Tijaniyah. Melihat pekembangan jamaah yang meluas melintasi basis-basis wilayah utama dirasakan pentingnya memuncukan suatu wadah untuk melakukan pembinaan berlajut menyangkut berbagai sektor kejamaahan, maka dimunculkan wadah kekhalifahan Tarekat Tijaniyah.

Ikhtisar Manakib Syekh Ahmad Al-Tijani

DR. KH. Ikyan Badruzzaman
Sekilas tentang Syekh Ahmad al-Tijani
Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-Jazair.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw. Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Biografi Syekh Ahmad al-Tijani
• Fase menuntut Ilmu
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
• Fase Menuntut Ilmu Tasawuf
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : اَنَّكَ تُدْرِكَ مَقَامَ الشَّاذِلِى “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-Syazili”” . Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : “الله ُ يَأخُذُ بِـيَدِكَ. (Allah yang membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
• Fase Pengidentifikasian Diri
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar tasawuf. Diantara buku yang diajarkannya adalah kitab al-Hikam. Kemudian beliau pergi ke Mesir. Di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi yang sangat terkenal pada waktu itu yakni Syekh Mahmud al-Kurdi, ia seorang tokoh thariqat khalwatiyah. Dari tokoh ini Syekh Ahmad al-Tijani menyempurnakan ajaran thariqat Kholwatiyahnya. Dalam perjumpaan pertama dengan Syekh Mahmud al-Kurdi, kepada Syekh ahmad al-Tijani dikatakan: (أنت محبوب عندالله في الدنيا والاخرة ) Engkau kekasih Allah di dunia dan di akherat” lalu ia Al-Tijani bertanya (من اين لك هدا ) “Dari mana pengetahuan ini ?” Jawab Al-Kurdi ( من الله ) “Dari Allah”.
Setelah beberapa hari Syekh Mahmud al-Kurdy bertanya kepada Syekh Ahmad : “(مامطلبك ؟) Apa cita-citamu ?” Jawab Syekh Ahmad Al-Tijani (مطلبي القطبانـية لعظمى) “Cita-cita saya menduduki maqam al-Qutbaniyah al-‘Udzma”. Jawab al-Kurdi (لك اكثرمنها ) “Bagimu lebih dari itu” Berkata Syekh Ahmad Al-Tijani (عليك) “Engkau yang menanggungnya ?” Jawab al-Kurdi (نعم) “Ya”. Pada bulan Syawwal tahun 1187 H. Sampailah beliau ke Makkah pada waktu itu di Makkah ada seorang wali bernama Syekh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi. Sewaktu Syekh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, ia mengungkapkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani melalui surat lewat khadamnya yang berbunyi :
أنت وارث علمي واسرارى وموا هبي وانوارى Artinya : “Engkau pewaris ilmuku, rahasia-rahasiaku, karunia-karuniaku dan cahaya-cahayaku”
Selesai melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Rasulullah saw., di Madinah. Di kota ini beliau menjumpai seorang wali Quthb Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman. Dalam salah satu pertemuannya, dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian al-Quthb’ al-Jami’. Pertemuan Syekh Ahmad al-Tijani dengan para wali sebagaimana disebutkan di atas, menunjukan hampir semua wali yang dikunjunginya melihat dan meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian yang tinggi lebih dari apa yang dicita-citakannya.
Pada tahun 1196 H., tepatnya ketika Syekh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun, beliau pergi ke pedalaman Aljazair, yaitu Abu Samghun, yang terletak di padang Sahara. Disitu beliau melakukan khalwat (kehidupan menyendiri). Di tempat inilah beliau mengalami pembukaan besar (al-Fath al-Akbar), beliau bertemu dengan Rasulullah saw., dalam keadaan jaga (yaqzhah). Selanjutnya Syekh Ahmad al-Tijani ditalqin (dibimbing) istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali, selanjutnya Rasulullah saw. bersabda kepada Syekh Ahmad Al-Tijani :
لامنة لمخلوق عليك من مشايخ الطريق فانا واسطتك وممدك على التخقيق. فاترك عنك جميع ما احذت من جميع الطريق. الزم هذه الطريقة من غير خلوة ولااعتزال عن الخلق حتى تصل مقامك الذى وعدت به وانت على حالك من غير ضيق ولاحرج ولاكثرة مجاهدة واترك عنك جميع الاولياء.
Artinya : “Tak ada karunia bagi seorang makhlukpun dari guru-guru thariqat atas kamu. Maka akulah wasithah (perantaramu) dan pemberi dan atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya (oleh karena itu), tinggalkanlah apa yang kamu telah ambil dari semua thariqat. Tekunilah thariqat ini tanpa khalwat dan tidak menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan, tanpa susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para Wali.”
Dua macam wirid sebagaiman telah disebutkan di atas, yaitu : Istighfar 100 kali dan Shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun dan pada tahun 1200 H., wirid itu disempurnakan Rasulullah saw., dengan ditambah Hailallah (la Ilaha Illa Allah) 100 kali. Pada bulan Muharram tahun 1214 H. Syekh Ahmad al-Tijani mencapai maqam kewalian yang pernah dicita-citakannya yakni maqam al-Quthbaniyyat al-‘Udhma. Dan pada tanggal 18 Safar pada tahun yang sama Syekh Ahmad al-Tijani mendapat karunia dari Allah swt., memperoleh maqam tertinggi kewalian ummat Nabi Muhammad yakni maqam al-Khatm wal-Katm atau al-Qutb al-Maktum dan Khatm al-Muhammadiyy al-Ma’lum.
Dan setiap tanggal dan bulan tersebut murid-murid Syekh Ahmad al-Tijani, di Indonesia misalnya mensyukuri melalui peringatan ‘Idul Khatmi Lil Qutbil Maktum Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Seperti halnya kita berkumpul disini.
• Fase Pengembangan Dakwah
Di Maroko, Syekh Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (penguasa Maroko) bekerjasama dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan kemalasan, sampai beliau dilantik sebagai anggota “Dewan Ulama”.
Dalam keadaan masyarakat yang demikian rusak baik secara moral maupun akidah Syekh Ahmad al-Tijani menyatakan bahwa : “Pada umumnya masyarakat pada waktu itu melakukan ziarah kepada wali-wali Allah hanyalah untuk tujuan yang rusak (agrad fasidat) yakni hanya untuk mengharapkan kesenangan dan syahwat duniawi.” Dalam posisi inilah Syekh Ahmad al-Tijani menetapkan batasan yang sangat ketat kepada murid-muridnya dalam melakukan ziarah kepada wali-wali Allah swt., hal ini dimaksudkan untuk memelihara kemurnian akidah dan kelurusan ibadah.
Upaya Syekh Ahmad al-Tijani dalam melakukan dakwah-dakwah Islam, selain melaksanakan kerjasama dengan Maulay Sulaiman, beliau juga aktif memimpin Zawiyah di kota Fez Maroko, sampai wafatnya pada Hari Kamis tanggal 17 bulan Syawwal tahun 1230 H. Di Kota ini beliau sering dikunjungi orang-orang dari seluruh Maroko ataupun negara-negara tetangganya, dan membina orang yang berminat mendalami ajarannya, sampai melantiknya sebagai pemuka Thariqat Tijaniyah (muqaddam) di daerah masing-masing. Sampai saat menjelang wafatnya Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya, beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama dalam membina dan mengarahkan murid beliau melalui Zawiyah yang beliau dirikan maupun melalui surat-surat yang beliau kirim keberbagai lapisan masyarakat (fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro).
Berikut sebagian kutipan surat dakwah syekh Ahmad al-Tijani:
“Saya berwasiat pada sendiri dan kalian semua dengan perkara yang telah diwasiatkan dan diperintahkan oleh Allah swt. Yaitu menjaga batas-batas agama, melaksanakan perintah ilahiyah dengan segenap kemampuan dan kekuatan.
Sesungguhnya pada jaman sekarang, sendi-sendi pokok agama ilahi telah rapuh dan ambruk. Baik secara langsung dan global ataupun secara perlahan-lahan dan rinci. Manusia lebih banyak tenggelam dalam urusan yang mengkhawatirkan, secara ukhrawi dan duniawinya. Mereka tersesat tidak kembali dan tertidur pulas tidak terjaga. Hal ini dikarenakan berbagai persoalan yang telah memalingkan hati dari Allah swt., dan aturan-aturan (perintah dan larangannya). Pada masa dan waktu kini sudah tidak ada seorangpun yang peduli untuk mejalankan dan memenuhi perintah-perintah Allah dan persoalan-persoalan agama yang lainnya. Kecuali orang yang benar-benar ma’rifat kepada-Nya paling tidak orang yang mendekati sifat tersebut.
Wasiat ini dilatarbelakangi atas keprihatinan terhadap kemunduran ummat Islam, baik secara akidah maupun ibadah. Sikap ini menunjukan kepedulian Syekh Ahmad al-Tijani sebagai shahibut thariqah terhadap problematika ummat Islam.
Pada bagian lain dikatakan : Hendaklah kamu sekalian berusaha membiasakan bersedekah setiap hari jika mampu. Meskipun sekedar uang recehan ataupun sesuap makanan, disamping tetap menjaga pelaksaan perkara-perkara fardu yang di wajibkan dalam harta benda, seperti zakat. Sesungguhnya pertolongan Allah swt., lebih dekat kepada mereka yang selalu mengerjakan dan menjaga kewajiban-kewajiban yang bersifat umum/kemasyarakatan.
Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :
“Hendaknya kamu sekalian selalu menjaga silaturahim/menyambung tali persaudaraan dengan norma-norma yang dapat membuat hati menjadi lapang dan menimbulkan rasa kasih sayang. Meskipun hanya menyediakan waktu luang dan memberikan salam. Jauhilah sebab-sebab yang menjadikan kebencian dan permusuhan di antara sanak saudara, atau perpecahan orang tua dan segala hal yang menyulut api dendam dalam relung hati sanak saudara”.
“Hendaklah menjauhi segala pembicaraan yang mengorek aib dan kekurangan sesama muslim. Mereka yang gemar melakukan itu, Allah swt., akan membuka aib/cacat kekurangannya dan mengoyak kekurangan-kekurangan generasi setelahnya”. Wasiat ini menegaskan pentingnya membangun kepedulian sosial dan membangun keutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Pada dasarnya, Syekh Ahmad al-Tijani tidak menginginkan seorang sufi yang hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan mengabaikan masalah kemasyarakatan. Sufi, sebagaimana ditegaskan dalam pengamalan thariqat tijaniyah, harus senantiasa aktif berjuang bersama masyarakat.
Demikianlah sekilas peran dakwah Syekh Ahmad al-Tijani. Lewat ajarannya, dapat dilihat bagaimana beliau memandang penting arti tampilnya seorang sufi/wali di tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatannya pada Allah dan Rasul-Nya. Pada masa modern ini, murid tarikat tijaniyah terus aktif melakukan dakwah Islam, di berbagai kawasan Afrika dan mereka mendirikan Zawiyah (Pesantren Sufi). Sampai sekarang mereka aktif mengembangkan dakwah Islam di Amerika, Perancis, dan Cina.
Pada tahun 1987 , Syekh Idris al-‘Iraqi, (muqaddam zawiyah thariqat tijaniyah Fez, Maroko) berkunjung ke Indonesia, menurut pengakuannya sampai saat ini di Perancis, terdapat puluhan zawiyah (pesantren sufi) thariqat tijaniyah.
Pada tahun 1985/1406 H., di Kota Fez, Maroko diselenggarakan muktamar thariqat tijaniyah dan dihadiri utusan dari 18 negara, seperti : Kerajaan Maroko, Pakistan, Tunisia, Mali, Mesir, Mauritania, Nigeria, Gana, Gambia, Gina, Pantai Gading, Sudan Senegal, Cina, Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia. Utusan dari Indonesia adalah KH. Umar Baidhowi dan KH. Badri Masduqi. Pada pembukaan muktamar tersebut, Raja Hasan II (Raja Maroko) berkenan memberikan sambutan.
Gambaran di atas menunjukan efektifitas metoda tarikat dalam pengembangan dakwah Islam.
Demikianlah sekilas riwayat hiudp Syekh Ahmad al-Tijani, semoga bermanfaat.

Polemik tentang Thariqat Tijaniyah di Indonesia

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Semenjak awal kehadirannya ke Indonesia, Thariqat Tijaniyah ini mendapat tantangan dari para ahli thariqat yang lain (non-Tijaniyah) yang cukup keras sehingga menimbulkan pertentangan diantara para ahli thariqat di Indonesia. Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Thariqat Tijaniyah terdapat kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet-pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan para penentang. Dan mereka mendapatkan rujukan ulama dari Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan.
Pada tahun 1930 terjadi perselisihan antara pesantren Buntet, pusat Tijaniyah, dengan Pesantren Benda Kerep, anti Tijaniyah –yang sebenarnya keduanya masih mempunyai hubungan keluarga. Pada tahun yang sama, Syekh Ahmad Ganaim, guru dari Mesir datang ke pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Dalam kedatangannya ini, ia menyerang Thariqat Tijaniyah dengan alasan bahwa penyebar Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga. Pertentangan terhadap Tijaniyah juga diungkapkan melalui penulisan kitab-kitab sanggahan. Misalnya, Sayyid Abdullah Dahlan menulis kitab sanggahan Tanbih al-Ghafil wa Irsyad al-Mustafid al-Aqil, yang kemudian diringkas menjadi kitab Wudluh ad-Dala’il: Muhammad al-Hilali menulis kitab al-Hidayah al-Hadiyah Li al-Tha’ifah al-Tijaniyah, yang berisikan hampir sama dengan kitab sanggahan Sayyid Abdullah Dahlan. Sayyid Abdullah Dahlan menyanggah beberapa masalah dalam Thariqat Tijaniyah. Secara umum ia mengatakan bahwa dalam Thariqat Tijaniyah terdapat banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Muhammad Al-Hilal, dalam kitabnya al-Hidayah al-hadiyah,….., dan Ali Dakhilullah dalam kitabnya al-Tijaniyat mengupas kritikan yang hampir sama dengan Sayyid Abdullah Dahlan.
Pertentangan tentang Thariqat Tijaniyah pernah dibahas dalam forum NU dan seminar Thariqat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Thariqat Tijaniyah dalam dua kali muktamarnya: Muktamar III dan VI. Muktamar III memutuskan keabsahan (kemu’tabaran) Thariqat Tijaniyah dan muktamar VI menguatkan hasil keputusan muktamar III. Hasil keputusan kedua Muktamar itu menetapkan bahwa (1) Thariqat Tijaniyah mempunyai sanad Muttasil kepada Rasulullah saw., bersama bai’ah barzakhiyah-nya.(2) dapat dianggap sebagai thariqat yang sah dalam Islam,
Polemik ini sengaja disajikan, untuk lebih melihat bagaimana kehadiran Thariqat Tijaniyah di Indonesia.
Mengapa Terjadi Polemik
Masalah yang terpenting dalam beberapa sanggahan terhadap Thariqat Tijaniyah adalah tentang : keunggulan maqam kewalian Syekh Ahmad al-Tijani, keistimewaan Thariqat Tijaniyah, dan keistimewaan pengamal Tijaniyah.
Dalam melihat tiga hal di atas, ada beberapa kelemahan dari para penentang Thariqat Tijaniyah Kelemahan dimaksud adalah : (1) Tidak tuntasnya mereka dalam membaca dan memahami ungkapan-ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani dan ajaran Tijaniyah, (2) Pemahaman mereka terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-tijani lebih bersifat tekstual, sedangkan kalimat-kalimat ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani banyak yang harus difahami berdasarkan pendekatan kontekstual, dan (3) mereka penentang Tijaniyah tidak mempelajari langsung dari guru-guru Tijaniyah, tetapi mereka mempelajarinya melalui pemahamannya sendiri sehingga penafsiran pemikiran mereka yang dominan lebih cenderung kurang relevan, menjadi subjektif dan bias. Tiga kelemahan para penentang dalam melihat Thariqat Tijaniyah sebagaimana disebutkan, memunculkan polemik. Sampai sekarang pertentangan dalam Thariqat Tijaniyah belum berakhir terutama melalui buku-buku yang diterbitkan dari Kerajaan Saudi Arabia, yang diikuti oleh majalah al-Risalah yang terbit di Solo.
Penyelesaian Polemik
Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik dan benar mengenai persoalan tadi, ada tahapan-tahapan pemikiran yang harus dilalui. Lantaran penilaian, pengertian dan pemahaman yang didapat dari tahapan pemikiran akan menjadi pintu masuk dalam memahami pernyataan dan fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani, tahapan dimaksud adalah :
Tahapan pertama, pemahaman tentang al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan atau masyrab al-Nabawi yang melekat dalam diri Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sebagai sumber kenabian seluruh para nabi. Seluruh para nabi sejak Nabi Adam as., hingga Nabi Isa as., mengambil cahaya kenabian dari Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu seluruh nabi hanyalah melakukan peran kenabian Nabi Muhammad saw., sebelum lahirnya jasad beliau. Berdasarkan hadis “kuntu Nabiyyan wa Adamu Bain al-Mai’ wa al-Thin”.
Tahapan ini perlu dipahami terlebih dahulu sebagai bahan perbandingan memahami khatm al-Wilayah. Tahapan berikutnya memahami dan meyakini tentang khatm al-Wilayah dan atau masyrab kewalian yang melekat dalam diri seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm, sebagai sumber kewalian seluruh wali-wali Allah. Seluruh wali-wali Allah sejak Nabi Adam hingga akhir zaman mengambil cahaya kewalian dari wali khatm ini, oleh karena itu seluruh wali hanya melakukan peran kewalian seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm; yang menurut Ibn Arabi “… wa kadzalika khatm al-Awliya kana waliyyan wa Adamu bain al-Mai’ wa al-Thin”. Tahapan pemikiran ini merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa memasuki dan memahami pernyataan-pernyataan seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm. Apabila pada dataran ini belum dipahami, maka sangat sulit untuk bisa memahami pemikiran dan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali yang mengaku memperoleh maqam wali khatm. Sebab pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani yang terkait dengan keunggulan dirinya muncul dalam kapasitasnya sebagai wali khatm. Keunggulan yang melekat dan dimiliki syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali khatm mengantarkan pada keunggulan ajaran thariqatnya, yakni Thariqat Tijaniyah. Keunggulan ajaran Thariqat Tijaniyah yang diajarkan wali khatm mengantarkan keunggulan ummat Islam yang mengikuti ajarannya.
Dengan demikian pemahaman dan penerimaan terhadap pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani tentang maqam kewaliannya merupakan syarat mutlak untuk bisa memahami terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani, baik tentang dirinya, ajaran thariqat dan pengikutnya. Oleh karena itu sepanjang teori kewalian khususnya teori wali khatm belum diterima, terlebih pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam ini, selama itu pula Thariqat Tijaniyah akan terus dipermasalahkan dan tidak akan ada ujungnya. Namun apabila ada kelompok ummat Islam yang memahami wali khatm sekaligus menerima dan meyakini terhadap pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam wali ini, hemat saya tidak ada yang perlu dipersoalkan, karena persoalan tersebut merupakan hak intelektual seseorang dalam mengimani masalah kewalian sebagai mana paparan al-Qur’an dan hadis.
Sungguhpun demikian dalam penyelesaian polemik tentang Thariqat Tijaniyah tidak sederhana, sebab pembahasan al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan Khatm al-Wilayah termasuk pada wilayah pemikiran dan ummat Islam khususnya kaum tarekat yang mempunyai kemauan dan kemampuan memasuki wilayah ini sangat terbatas, keterbatasan ummat Islam khususnya pengikut tarekat wali Allah dalam memahami wali ini akan melihat bahwa pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm dianggap asing dan akan semakin mengagetkan apabila dihadapkan dengan pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani, yakni tentang keunggulan dirinya, thariqat dan muridnya dan akan muncul kebingungan ketika lebih banyak melihat pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani.
Oleh karena itu sepanjang ummat Islam khususnya kaum tarekat belum mamahami apalagi menerima dan taslim terhadap penagakuan Syekh Ahmad al-Tijani, terhadap wali khatm, selamanya akan terus bertabrakan dan atau bersebrangan dengan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm. Dan mereka akan menganggap sebuah hal yang aneh kelompok ini tidak akan aman dari mengkritik terhadap Syekh Ahmad al-Tijani. Disarankan kepada intelektual Thariqat Tijaniyah yang menggeluti dunia keilmuan untuk lebih banyak mengkaji dan mensosialisasikan teori wali Khatm. Hal ini bisa dilakukan melalui hal-hal berikut : pertama memasukan teori kewalian menjadi Silabi Mata Kuliah Tasawuf; kedua, menyelenggarakan seminar tentang teori kenabian dan teori kewalian diluar kalangan ahli Tijaniyah, terutama dikalangan Perguruan Tinggi; ketiga mengembangkan pusat kajian tasawuf yang berkedudukan di Jakarta.
Hal ini diharapkan untuk lebih bisa menyelesaikan masalah Thariqat Tijaniyah secara bertahap, khususnya yang berkembang di Indonesia. Sebab hemat saya penyelesaian masalah Thariqat Tijaniyah, mesti dilakukan melalui pendekatan ilmiyah, melalui kajian tasawuf terutama teori kenabian dan kewalian. Sebab ada hal yang menarik dari Syekh Ahmad al-Tijani, beliau menggabungkan dua sisi dari tasawuf yang berkembang dalam sejarah Pemikiran Islam yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Sungguhpun secara amaliyah, hemat penulis Thariqat Tijaniyah dengan wirid istighfar, shalawat, dan dzikirnya merupakan hal yang disepakati oleh seluruh ummat Islam bahwa wirid tersebut merupakan amalan yang diperintahkan oleh Qur’an dan hadis. Persoalan ajaran Thariqat Tijaniyah tidak hanya sampai disitu melainkan menembus memasuki wilayah tasawuf falsafi terutama menyangkut hakekat nabi Muhammad saw., dan wali khatm. Hal ini hanya akan bisa diselesaikan melalui pendalaman tentang teori kenabian dan kewalian.
Demikianlah setitik pokok-pokok pikiran untuk bahan diskusi pada forum yang mulia ini, semoga mendorong kita untuk memahami lebih jauh tentang keagungan Syekh Ahmad al-Tijani dan keuntungan murid Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Amin

Proses Kelahiran Thariqat Tijaniyah

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Kelahiran Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum; sebagai telah dikatakan dicapai melalui proses panjang dalam penempaan derajat kewalian. Sebelum diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan sejak usia 7 tahun telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau mendalami berbagai cabang ilmu seperti : Ilmu Usul, ilmu Furu’ dan ilmu Adab. Kemudian mulai usia 21 tahun sampai 31 tahun beliau mendalami teori-teori ilmu tasawuf dan mengamalkan ajaran-ajaran sufi dan dari usia 31 tahun sampai 46 tahun beliau melakukan disiplin ibadah membersihkan jiwa tenggelam mengamalkan amalan wali-wali. Dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah di Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez, dan Abi Samgun. Kunjungan kepada wali besar itu dalam upaya silaturrahmi dan mencari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali besar, sebagaimana telah dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah wali besar bahkan lebih besar derajatnya dari yang lain. Kesaksian para wali besar atas derajat kewalian Syekh Ahmad al-Tijani yang tinggi diakui dan disaksikan dihadapan Syekh Ahmad al-Tijani. Ungkapan kesaksian demikian bisa terjadi, karena di dunia sufi diakui bahwa seorang wali bisa melihat wali, derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang Hakekatnya berasal dari Allah swt. Derajat wali semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah, apabila seorang wali dengan ilmu ma’rifahnya dan atas anugerahnya bisa mengetahui derajat sesama wali.
Proses panjang ilmu-ilmu kewalian, melalui perjalanan panjang kunjungan Syekh Ahmad al-Tijani kepada kepada pembesar wali, dengan kesaksian-kesaksiannya, berakhir di Padang Sahara, daerah tempat wali besar Abu Samghun. Pada tahun 1196 H., beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samgun. Di tempat inilah (Pada tahun 1196 H.) Syekh Ahmad al-Tijani mencapai anugerah dari Allah, yaitu الفتح الأكبر “(pembukaan besar)”.
Pada saat al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mengaku, berjumpa dengan Rasulullah saw., melihat Rasulullah saw., secara يقظة “(dalam keadaan sadar lahir batin)”, bukan dalam keadaan mimpi. Saat demikian menjadi momentum yang penting dan menentukan bagi Syekh Ahmad al-Tijani, pada saat al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah saw., berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H.) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah saw., dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., melalui al-Fath, perjumpaan secara yaqzhah ini memberikan kepada Syekh Ahmad al-Tijani otoritas sebagai Shahib al-Thariqah.
Sebagaimana telah dijelaskan, pada saat talqin, Rasulullah saw., juga menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani. Karena kedudukan dan derajat ajaran wiridnya yang sangat tinggi, Rasulullah saw. memerintahkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani agar hanya berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu, meninggalkan wirid-wirid yang lain, dan juga meninggalkan para wali yang lain. hal ini menunjukan jaminan Rasulullah saw., atas keunggulan wirid tersebut, atas wirid-wirid yang lain, dan jaminan Rasulullah saw., menjadi pembimbing, penanggung jawab, dan sekaligus perantara dihadapan Allah sebab, menurut Ali Harazim, melalui Rasulullah saw., segala sesuatu diturunkan dari Allah swt. Perintah meninggalkan thariqat dan wali yang lain disebabkan oleh kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani yang tinggi, sebagaimana telah dijelaskan. Atas jaminan-jaminan demikian, mulailah Syekh Ahmad al-Tijani mengajarkan thariqatnya kepada setiap ummat Islam yang berminat.
Sistem Dasar Pembentukan Thariqat Tijaniyah
Menurut Syekh al-Sya’rani, sebagaimana dikutip oleh Ali Harazim, ajaran thariqat kaum sufi berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berasal dari metode suluk yang dipraktikan oleh Rasulullah saw. Dari landasan ini, unsur sanad (silsilah) yaitu urutan-urutan guru secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah saw., sangat penting dalam thariqat. Idealnya, setiap guru dalam sanad bertemu langsung dengan guru di atas dan seterusnya sampai sumber utama Rasulullah saw. Namun dalam kenyataannya tidak semua talqin thariqat menggunakan sanad demikian sebab ada talqin yang disampaikan langsung antara syekh Thariqat dengan Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw., meninggal dunia, sistem demikian biasa dinamakan sistem “Barzakhi”.
Bimbingan Rasulullah saw., kepada para wali dalam keadaan jaga mengantarkan pada satu pemahaman bahwa amalan wirid para wali termasuk didalamnya amalan thariqat muncul sebagai buah mujahadahnya dan hal ini merupakan anugerah Allah swt. Oleh karena itu menurut KH. Badruzzaman banyak thariqat para wali dasar pembentukannya melalui talqin barzakhi. Untuk itu ia menyebutnya sebagai thariqat Barzakhiyah artinya amalan yang diterima dari Nabi Muhammad saw., setelah beliau meninggal dunia. Selanjutnya dikatakan bahwa semua amalan thariqat besar yang berkembang di dunia Islam terbentuk melalui talqin barzakhi kecuali thariqat Qadiriyah, karena sanad thariqat ini bersambung kepada Rasulullah saw. melalui Sayyidina Ali Kw.
Thariqat Tijaniyah termasuk thariqat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Thariqat Tijaniyah, sebagaimana tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaran-ajaran itu tidak diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya, tetapi diperoleh langsung oleh Syekh Ahmad al-Tijani dari Rasulullah saw., dalam perjumpaan secara yaqzhah. Pejumpaan dengan melihat Rasulullah saw., walaupun telah berada di alam barzakh, yang dialami oleh Syekh Ahmad al-Tijani, adalah peristiwa yang menurut tradisi thariqat, merupakan hal yang biasa dan bisa terjadi terutama dialami oleh wali-wali besar.
Bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan wali. Dan karamah seperti inilah yang senantiasa diharapkan dan dicita-citakan oleh para wali Allah swt. Sebab berjumpa dengan Rasulullah saw., dan melihatnya dengan yaqzhah (dalam keadaan jaga) tidak dalam keadaan tidur atau mimpi menunjukan jaminan maqam kewalian seseorang dari Rasulullah saw., sebagaimana akan dilihat nanti.
Melihat dasar pembentukan thariqat tijaniyah sebagai mana disebutkan di atas, bagi orang yang percaya bahwa hal tersebut memang terjadi, berarti mereka sudah meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani memperoleh kedudukan yang tinggi, dan berarti pula thariqat tijaniyah adalah thariqat yang mempunyai sanad sampai kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu amalan Thariqat Tijaniyah adalah amalan Nabi Muhammad Saw.[]

Profil Syekh Ahmad Al-Tijani

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman

Nama Syekh Ahmad al-Tijani (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui ajaran thariqat yang dikembangkannya yakni Thariqat Tijaniyah. Untuk mengetahui kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, penulis menelusurinya melalui Kitab-kitab yang memuat kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani terutama kitab-kitab yang di tulis Khalifah Syekh Ahmad al-Tijani diantaranya kitab Jawahir al-Ma`ani (Mutiara-mutiara Ilmu). tulisan Syekh Ali Harazim.
Dalam kitab-kitab yang menulis kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-jazair. Mengenai tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Nama al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar Tilimsan, Aljazair; dari pihak ibu, dan Syekh Ahmad al-Tijani berasal dari suku tersebut. Keluarga Syekh Ahmad Al-Tijani adalah keluarga yang dibentuk dengan tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syekh Ahmad al-Tijani adalah seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia balig dinikahkan oleh ayahnya. Sejak usia berapa tahun beliau menikah? Dalam kitab-kitan yang menulis riwayat hidup Syekh Ahmad al-Tijani tidak dijelaskan. Namun apabila dihubungkan dengan tahun meninggal kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni tahun 1166 H. Diduga beliau nikah antara usia 15-16 tahun, sebab beliau lahir pada tahun 1150 H. Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak secara berturut-turut memimpin zawiyah (pesantren Sufi yang beliau dirikan).
Mengenai tempat meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa beliau wafat di kota Fez Maroko. Hal ini bisa dimengerti karena sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syekh Ahmad al-Tijani mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Maroko. Sebagaimana tempat wafatnya, tahun wafatnyapun disepakati, yakni beliau wafat pada tahun 1230 H., dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir pada tahun 1150 H. Demikian juga mengenai hari dan tanggal wafatnya, disepakati bahwa beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal dan dimakamkan di kota Fez Maroko.