Monday, January 21, 2008

KARAKTERISTIK AHLU AL-SUNNAH WAAL-JAMA'AH

I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.

Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.

Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.

Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.

III. KERANGKA PENILAIAN ASWAJA
Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan. Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan disepakati penyimpangannya.

Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4. Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan termasuk segala perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
5. Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
6 Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulillah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim termasuk kepada para penguasa.


Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh "Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa', Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an, hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih)

IV. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada dasarnya memiliki dua kecenderungan dalam menyikapi berbagai perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan, terutama yang menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak mau mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik Bin Anas, dan Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan masalah-masalah aqidah, mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah Mungkarah" .

Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan pembahasan dan berdiskusi untuk menghilangkan kerancuan pemahaman serta memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara yang termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib, 'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan Abu Tsaur.

Kelompok kedua ini juga merasa terpanggil untuk menanggapi berbagai keadaan yang dihadapi baik yaang menyangkut masalah Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap munculnya dua sikap yang ekstrim. Pertama adalah kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai "Kelompok Tafrith" Kelompok ini memahami agama murni mengikuti Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual. Mereka tidak mau memberikan ta'wil atau tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang diperbolehkan. Sedangkan yang kedua yaitu kelompok yang menggunakan kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan dan kelompok ini disebut dengan "kelompok Ifrath"

Dalam berbagai diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan dalil-dalil manthiqi (deplomasi) dan ta'wil majazi. Pendekatan ini terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari penyimpangan dengan menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak ketika itu, namun tetap berjalan diatas manhaj sahaby sesuai dengan anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima Ya'rifuhu Wada'u Yunkiruna. Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu memahaminya, dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan Rasul-Nya itu dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari dimauqufkan kepada Sayyidina Ali RA.
Strategi dan cara yang begitu adaptif inilah yang terus dikembangkan oleh para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam merespon berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai benturan antara teks-teks agama dengan kondisi sosial masyarakat yang berubah-rubah.

Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti sahabat bukanlah dalam arti mengikuti secara tekstual melainkan mengikuti Manhaj atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi, kaku terhadap teks-teks manqulat (yang langsung dinuqil dari para sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia tidak akan mampu memahami apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf..
(Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin)

V. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya dan lain-lain.
Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di Indonesia baik mereka itu orng yang ber ORMASkan NU, Muhammadiah, SI, Sarekat Islam maupun yang lainnya.

Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.

Bagaimana pilar-pilar pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah Wal Jama'ah? Bisa dilihat pada : kitab karangan KH. Hasyim Asy'ari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penulis (Ust. A. Zainul Hakim,SEI.)
sumber : semua artikel ASWAJA diambil dari ahlussunnahwaljamaah.blogspot.com (link mungkin telah hilang)

Saturday, January 12, 2008

Ajaran dan Dzikir Thoriqoh Tijaniyyah

Ajaran dan Dzikir Thoriqoh Tijaniyyah
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam Thoriqohnya. Ajaran-ajaran Thoriqoh ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma'ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma'a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Thoriqoh Tijaniyyah pada abad ke-19.

Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan haii tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali (perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh perantara sarana untuk manunggal dengan Allah". Dalam hal ini, perantara itu tak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana Thoriqoh-Thoriqoh lain, Thoriqoh ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh nasehat syekh dengan tenang.

Thoriqoh Tijaniyyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.

Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum'at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan Thoriqoh ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.

Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Thoriqoh Tijaniyyah -- yang membedakannya dengan Thoriqoh-Thoriqoh lain -- adalah bahwa tujuan dzikir dalam Thoriqoh ini, sebagaimana dalam Thoriqoh Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota Thoriqoh ini juga menyebut Thoriqoh mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas Thoriqoh ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi.

Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam Thoriqoh ini:

"Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat behubungan baik dengan Allah.

Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan ketentuan-ketentuan syari'at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai Syekh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.

Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syekh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.

Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari kebijak-kebijakan.

Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum'at dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi SAW akan hadir dalam pembacaan ketujuh.

Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual".

Setiap Thoriqoh memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Thoriqoh Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh Thoriqoh ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi SAW sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.

Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota Thoriqoh ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota Thoriqohnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan orang yang disukainya.

Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad telah "wafat" tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.

Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela Thoriqoh ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari'at), dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah SAW?.
Sumber : sufinews.com

Friday, January 11, 2008

Mengenal Thoriqoh Tijaniyyah

Thoriqoh Tijaniyyah
Thoriqoh Tijaniyyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.

Pada tahun 1186 (1772 - 1773), dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk berguru kepada banyak tokoh Thoriqoh sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara Thoriqoh yang dipelajarinya, misalnya Thoriqoh Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri Thoriqoh Sammaniyah, yang mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, dia menuju Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 - 1782), atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan Thoriqoh sendiri yang independen. Di sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham (fath/kasyf).

Dalam fath yang diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi SAW mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh Thoriqoh mana pun.

Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini menjadi pembimbingnya dalam berThoriqoh. Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan dengan Thoriqoh. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan Thoriqoh sendiri disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak 100 kali.

Setelah kejadian itu, ia kembali ber'uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir (1200/1786).

Dalam fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah yang durhaka. Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan 'uzlahnya dari padang pasir dan pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fes. Di kota ini dia diterima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815, dalam usia 80 tahun.

Meskipun dia banyak berThoriqoh dan menjadi muqaddam khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah), tetapi pada perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan keras, dia kemudian mendirikan Thoriqoh yang independen, yang diyakini atas izin Nabi SAW.

Thoriqoh yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda dengan Thoriqoh-Thoriqoh lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota Thoriqoh ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk memberikan bait 'ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain dan dirinya serta wali-wali dari Thoriqohnya. Menurut at-Tijani, Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam hati manusia, dan oleh karenanya tak seorang pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus.

Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu bersamaan ia juga sedang menampuh (mengambil) jalan lain?
Sejak tinggal di kota Fes ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan Thoriqohnya sendiri. Sebagai seorang syekh Thoriqoh yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.

Semula Thoriqoh yang dipimpin at-Tijani ini mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai'at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh. Thoriqoh ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir dan Sudan.

Aktivistas gerakan Thoriqoh Tijaniyyah terbukti sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut Thoriqoh Qadariyah dan Syadziliyah, para murid Thoriqoh ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai kawasan Afrika.

Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi lainnya dan berada di garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme. Dari at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat. Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Thoriqoh Tijaniyyah, adalah orang-orang muslim pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun 1950.

Thoriqoh ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima ijazah untuk mengajarkan Thoriqoh ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan, pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah menerima bai'at untuk menjadi pengikut Thoriqoh Tijaniyyah dan mendapat ijazah untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana.

Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan Thoriqoh lain tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat ditolelir.

Di Indonesia, Tijaniyyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.

Sepanjang tahun 80-an Thoriqoh ini ngalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang dicapai Thoriqoh ini menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari Thoriqoh lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Thoriqoh Tijaniyyah.

Kepindahan murid-murid dari Thoriqoh lain ke Thoriqoh Tijaniyyah ini berarti hilang pula murid-murid dari Thoriqoh lain. Karena Thoriqoh Tijaniyyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi lagi kepada syekh Thoriqoh yang dianut sebelumnya.*** Sumber : Sufinews.com