Tuesday, May 13, 2008

Ijtima’ Wadzifah Hailalah

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Ijtima Wadzifah Hailalah (IWH) adalah kegiatan berdzikir lailaha illallah secara berjama’ah. Ini adalah amalan lazim Tarekat Tijaniyah. IWH dilaksanakan setiap hari Jum’at Ba’da Ashar sampai Magrib. IWH telah dimulai sejak masa kepemimpinan KH. Ismail Badruzzaman sebagai konsolidasi kepemimpinan. Pada saat itu penyelenggaraannya masih sangat terbatas yakni di tempat Tarekat Tijaniah generasi awal seperti Al-Falah Biru, Cimencek, Mulabaruk, Cisanca dengan kehadiran jamaah sekitar 1.000-2.000 orang. Materi ceramah yang dikemukakan dalam ijtima tersebut belum meyentuh substansi ajaran tarekat tetapi masih membicarakan hal-hal umum seperti kaitan Tarekat Tijaniah dengan syari’at dan sekitar pembicaraan tentang berkah mengikuti ajaran wali dalam hal ini Tarekat Tijaniyah selebihnya materi-materi umum yang tidak bersentuhan langsung dengan Tarekat Tijaniyah. Tidak heran pada waktu jamaah mempersepsi ajaran Tarekat Tijaniyah sebagai amalan littabaruk dan cenderung tidak mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan tarekat.
Setelah dikaji kitab yaqutatulfaridah disosialsasikan melalui IWH yang dirasakan muncul sebuah keberkahan dalam bentuk pengembangan jamaah dimana ijtima pada tahap ini melintasi lingkup daerah-daerah Tijaniah pada basis awal dan ijtima dilakukan antar kecamatan di Kab. Garut bahkan antar kabupaten seperti ijtima di Masjid Agung Garut, Mesjid Besar Kodya Bandung dan Taikmalaya. Melalui IWH inilah Tarekat Tijaniyah berkembang pesat. Sampai sekarang ijtima tidak kurang diikuti sekitar 5.000-10.000 jamaah dari total jamah sekitar 20.000 yang meliputi Garut dan Bandung. Orang yang meliputi kab. Garut yang tersebar hampir disetiap kecamatan. Melalui ijtima dimaksud secara langsung atau tidak langsung diajarkan tentang Tarekat Tijaniyah dan ini menarik orang untuk ingin tahu dan selanjutnya mengikuti amalan Tarekat Tijaniyah. Melihat pekembangan jamaah yang meluas melintasi basis-basis wilayah utama dirasakan pentingnya memuncukan suatu wadah untuk melakukan pembinaan berlajut menyangkut berbagai sektor kejamaahan, maka dimunculkan wadah kekhalifahan Tarekat Tijaniyah.

Ikhtisar Manakib Syekh Ahmad Al-Tijani

DR. KH. Ikyan Badruzzaman
Sekilas tentang Syekh Ahmad al-Tijani
Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-Jazair.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw. Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Biografi Syekh Ahmad al-Tijani
• Fase menuntut Ilmu
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
• Fase Menuntut Ilmu Tasawuf
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : اَنَّكَ تُدْرِكَ مَقَامَ الشَّاذِلِى “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-Syazili”” . Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : “الله ُ يَأخُذُ بِـيَدِكَ. (Allah yang membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
• Fase Pengidentifikasian Diri
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat sambil mengajar tasawuf. Diantara buku yang diajarkannya adalah kitab al-Hikam. Kemudian beliau pergi ke Mesir. Di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi yang sangat terkenal pada waktu itu yakni Syekh Mahmud al-Kurdi, ia seorang tokoh thariqat khalwatiyah. Dari tokoh ini Syekh Ahmad al-Tijani menyempurnakan ajaran thariqat Kholwatiyahnya. Dalam perjumpaan pertama dengan Syekh Mahmud al-Kurdi, kepada Syekh ahmad al-Tijani dikatakan: (أنت محبوب عندالله في الدنيا والاخرة ) Engkau kekasih Allah di dunia dan di akherat” lalu ia Al-Tijani bertanya (من اين لك هدا ) “Dari mana pengetahuan ini ?” Jawab Al-Kurdi ( من الله ) “Dari Allah”.
Setelah beberapa hari Syekh Mahmud al-Kurdy bertanya kepada Syekh Ahmad : “(مامطلبك ؟) Apa cita-citamu ?” Jawab Syekh Ahmad Al-Tijani (مطلبي القطبانـية لعظمى) “Cita-cita saya menduduki maqam al-Qutbaniyah al-‘Udzma”. Jawab al-Kurdi (لك اكثرمنها ) “Bagimu lebih dari itu” Berkata Syekh Ahmad Al-Tijani (عليك) “Engkau yang menanggungnya ?” Jawab al-Kurdi (نعم) “Ya”. Pada bulan Syawwal tahun 1187 H. Sampailah beliau ke Makkah pada waktu itu di Makkah ada seorang wali bernama Syekh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi. Sewaktu Syekh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, ia mengungkapkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani melalui surat lewat khadamnya yang berbunyi :
أنت وارث علمي واسرارى وموا هبي وانوارى Artinya : “Engkau pewaris ilmuku, rahasia-rahasiaku, karunia-karuniaku dan cahaya-cahayaku”
Selesai melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Rasulullah saw., di Madinah. Di kota ini beliau menjumpai seorang wali Quthb Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman. Dalam salah satu pertemuannya, dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian al-Quthb’ al-Jami’. Pertemuan Syekh Ahmad al-Tijani dengan para wali sebagaimana disebutkan di atas, menunjukan hampir semua wali yang dikunjunginya melihat dan meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian yang tinggi lebih dari apa yang dicita-citakannya.
Pada tahun 1196 H., tepatnya ketika Syekh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun, beliau pergi ke pedalaman Aljazair, yaitu Abu Samghun, yang terletak di padang Sahara. Disitu beliau melakukan khalwat (kehidupan menyendiri). Di tempat inilah beliau mengalami pembukaan besar (al-Fath al-Akbar), beliau bertemu dengan Rasulullah saw., dalam keadaan jaga (yaqzhah). Selanjutnya Syekh Ahmad al-Tijani ditalqin (dibimbing) istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali, selanjutnya Rasulullah saw. bersabda kepada Syekh Ahmad Al-Tijani :
لامنة لمخلوق عليك من مشايخ الطريق فانا واسطتك وممدك على التخقيق. فاترك عنك جميع ما احذت من جميع الطريق. الزم هذه الطريقة من غير خلوة ولااعتزال عن الخلق حتى تصل مقامك الذى وعدت به وانت على حالك من غير ضيق ولاحرج ولاكثرة مجاهدة واترك عنك جميع الاولياء.
Artinya : “Tak ada karunia bagi seorang makhlukpun dari guru-guru thariqat atas kamu. Maka akulah wasithah (perantaramu) dan pemberi dan atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya (oleh karena itu), tinggalkanlah apa yang kamu telah ambil dari semua thariqat. Tekunilah thariqat ini tanpa khalwat dan tidak menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan, tanpa susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para Wali.”
Dua macam wirid sebagaiman telah disebutkan di atas, yaitu : Istighfar 100 kali dan Shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun dan pada tahun 1200 H., wirid itu disempurnakan Rasulullah saw., dengan ditambah Hailallah (la Ilaha Illa Allah) 100 kali. Pada bulan Muharram tahun 1214 H. Syekh Ahmad al-Tijani mencapai maqam kewalian yang pernah dicita-citakannya yakni maqam al-Quthbaniyyat al-‘Udhma. Dan pada tanggal 18 Safar pada tahun yang sama Syekh Ahmad al-Tijani mendapat karunia dari Allah swt., memperoleh maqam tertinggi kewalian ummat Nabi Muhammad yakni maqam al-Khatm wal-Katm atau al-Qutb al-Maktum dan Khatm al-Muhammadiyy al-Ma’lum.
Dan setiap tanggal dan bulan tersebut murid-murid Syekh Ahmad al-Tijani, di Indonesia misalnya mensyukuri melalui peringatan ‘Idul Khatmi Lil Qutbil Maktum Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Seperti halnya kita berkumpul disini.
• Fase Pengembangan Dakwah
Di Maroko, Syekh Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (penguasa Maroko) bekerjasama dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan kemalasan, sampai beliau dilantik sebagai anggota “Dewan Ulama”.
Dalam keadaan masyarakat yang demikian rusak baik secara moral maupun akidah Syekh Ahmad al-Tijani menyatakan bahwa : “Pada umumnya masyarakat pada waktu itu melakukan ziarah kepada wali-wali Allah hanyalah untuk tujuan yang rusak (agrad fasidat) yakni hanya untuk mengharapkan kesenangan dan syahwat duniawi.” Dalam posisi inilah Syekh Ahmad al-Tijani menetapkan batasan yang sangat ketat kepada murid-muridnya dalam melakukan ziarah kepada wali-wali Allah swt., hal ini dimaksudkan untuk memelihara kemurnian akidah dan kelurusan ibadah.
Upaya Syekh Ahmad al-Tijani dalam melakukan dakwah-dakwah Islam, selain melaksanakan kerjasama dengan Maulay Sulaiman, beliau juga aktif memimpin Zawiyah di kota Fez Maroko, sampai wafatnya pada Hari Kamis tanggal 17 bulan Syawwal tahun 1230 H. Di Kota ini beliau sering dikunjungi orang-orang dari seluruh Maroko ataupun negara-negara tetangganya, dan membina orang yang berminat mendalami ajarannya, sampai melantiknya sebagai pemuka Thariqat Tijaniyah (muqaddam) di daerah masing-masing. Sampai saat menjelang wafatnya Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya, beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama dalam membina dan mengarahkan murid beliau melalui Zawiyah yang beliau dirikan maupun melalui surat-surat yang beliau kirim keberbagai lapisan masyarakat (fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro).
Berikut sebagian kutipan surat dakwah syekh Ahmad al-Tijani:
“Saya berwasiat pada sendiri dan kalian semua dengan perkara yang telah diwasiatkan dan diperintahkan oleh Allah swt. Yaitu menjaga batas-batas agama, melaksanakan perintah ilahiyah dengan segenap kemampuan dan kekuatan.
Sesungguhnya pada jaman sekarang, sendi-sendi pokok agama ilahi telah rapuh dan ambruk. Baik secara langsung dan global ataupun secara perlahan-lahan dan rinci. Manusia lebih banyak tenggelam dalam urusan yang mengkhawatirkan, secara ukhrawi dan duniawinya. Mereka tersesat tidak kembali dan tertidur pulas tidak terjaga. Hal ini dikarenakan berbagai persoalan yang telah memalingkan hati dari Allah swt., dan aturan-aturan (perintah dan larangannya). Pada masa dan waktu kini sudah tidak ada seorangpun yang peduli untuk mejalankan dan memenuhi perintah-perintah Allah dan persoalan-persoalan agama yang lainnya. Kecuali orang yang benar-benar ma’rifat kepada-Nya paling tidak orang yang mendekati sifat tersebut.
Wasiat ini dilatarbelakangi atas keprihatinan terhadap kemunduran ummat Islam, baik secara akidah maupun ibadah. Sikap ini menunjukan kepedulian Syekh Ahmad al-Tijani sebagai shahibut thariqah terhadap problematika ummat Islam.
Pada bagian lain dikatakan : Hendaklah kamu sekalian berusaha membiasakan bersedekah setiap hari jika mampu. Meskipun sekedar uang recehan ataupun sesuap makanan, disamping tetap menjaga pelaksaan perkara-perkara fardu yang di wajibkan dalam harta benda, seperti zakat. Sesungguhnya pertolongan Allah swt., lebih dekat kepada mereka yang selalu mengerjakan dan menjaga kewajiban-kewajiban yang bersifat umum/kemasyarakatan.
Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :
“Hendaknya kamu sekalian selalu menjaga silaturahim/menyambung tali persaudaraan dengan norma-norma yang dapat membuat hati menjadi lapang dan menimbulkan rasa kasih sayang. Meskipun hanya menyediakan waktu luang dan memberikan salam. Jauhilah sebab-sebab yang menjadikan kebencian dan permusuhan di antara sanak saudara, atau perpecahan orang tua dan segala hal yang menyulut api dendam dalam relung hati sanak saudara”.
“Hendaklah menjauhi segala pembicaraan yang mengorek aib dan kekurangan sesama muslim. Mereka yang gemar melakukan itu, Allah swt., akan membuka aib/cacat kekurangannya dan mengoyak kekurangan-kekurangan generasi setelahnya”. Wasiat ini menegaskan pentingnya membangun kepedulian sosial dan membangun keutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Pada dasarnya, Syekh Ahmad al-Tijani tidak menginginkan seorang sufi yang hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan zikir, dan mengabaikan masalah kemasyarakatan. Sufi, sebagaimana ditegaskan dalam pengamalan thariqat tijaniyah, harus senantiasa aktif berjuang bersama masyarakat.
Demikianlah sekilas peran dakwah Syekh Ahmad al-Tijani. Lewat ajarannya, dapat dilihat bagaimana beliau memandang penting arti tampilnya seorang sufi/wali di tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatannya pada Allah dan Rasul-Nya. Pada masa modern ini, murid tarikat tijaniyah terus aktif melakukan dakwah Islam, di berbagai kawasan Afrika dan mereka mendirikan Zawiyah (Pesantren Sufi). Sampai sekarang mereka aktif mengembangkan dakwah Islam di Amerika, Perancis, dan Cina.
Pada tahun 1987 , Syekh Idris al-‘Iraqi, (muqaddam zawiyah thariqat tijaniyah Fez, Maroko) berkunjung ke Indonesia, menurut pengakuannya sampai saat ini di Perancis, terdapat puluhan zawiyah (pesantren sufi) thariqat tijaniyah.
Pada tahun 1985/1406 H., di Kota Fez, Maroko diselenggarakan muktamar thariqat tijaniyah dan dihadiri utusan dari 18 negara, seperti : Kerajaan Maroko, Pakistan, Tunisia, Mali, Mesir, Mauritania, Nigeria, Gana, Gambia, Gina, Pantai Gading, Sudan Senegal, Cina, Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia. Utusan dari Indonesia adalah KH. Umar Baidhowi dan KH. Badri Masduqi. Pada pembukaan muktamar tersebut, Raja Hasan II (Raja Maroko) berkenan memberikan sambutan.
Gambaran di atas menunjukan efektifitas metoda tarikat dalam pengembangan dakwah Islam.
Demikianlah sekilas riwayat hiudp Syekh Ahmad al-Tijani, semoga bermanfaat.

Polemik tentang Thariqat Tijaniyah di Indonesia

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Semenjak awal kehadirannya ke Indonesia, Thariqat Tijaniyah ini mendapat tantangan dari para ahli thariqat yang lain (non-Tijaniyah) yang cukup keras sehingga menimbulkan pertentangan diantara para ahli thariqat di Indonesia. Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Thariqat Tijaniyah terdapat kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet-pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan para penentang. Dan mereka mendapatkan rujukan ulama dari Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan.
Pada tahun 1930 terjadi perselisihan antara pesantren Buntet, pusat Tijaniyah, dengan Pesantren Benda Kerep, anti Tijaniyah –yang sebenarnya keduanya masih mempunyai hubungan keluarga. Pada tahun yang sama, Syekh Ahmad Ganaim, guru dari Mesir datang ke pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Dalam kedatangannya ini, ia menyerang Thariqat Tijaniyah dengan alasan bahwa penyebar Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga. Pertentangan terhadap Tijaniyah juga diungkapkan melalui penulisan kitab-kitab sanggahan. Misalnya, Sayyid Abdullah Dahlan menulis kitab sanggahan Tanbih al-Ghafil wa Irsyad al-Mustafid al-Aqil, yang kemudian diringkas menjadi kitab Wudluh ad-Dala’il: Muhammad al-Hilali menulis kitab al-Hidayah al-Hadiyah Li al-Tha’ifah al-Tijaniyah, yang berisikan hampir sama dengan kitab sanggahan Sayyid Abdullah Dahlan. Sayyid Abdullah Dahlan menyanggah beberapa masalah dalam Thariqat Tijaniyah. Secara umum ia mengatakan bahwa dalam Thariqat Tijaniyah terdapat banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Muhammad Al-Hilal, dalam kitabnya al-Hidayah al-hadiyah,….., dan Ali Dakhilullah dalam kitabnya al-Tijaniyat mengupas kritikan yang hampir sama dengan Sayyid Abdullah Dahlan.
Pertentangan tentang Thariqat Tijaniyah pernah dibahas dalam forum NU dan seminar Thariqat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Thariqat Tijaniyah dalam dua kali muktamarnya: Muktamar III dan VI. Muktamar III memutuskan keabsahan (kemu’tabaran) Thariqat Tijaniyah dan muktamar VI menguatkan hasil keputusan muktamar III. Hasil keputusan kedua Muktamar itu menetapkan bahwa (1) Thariqat Tijaniyah mempunyai sanad Muttasil kepada Rasulullah saw., bersama bai’ah barzakhiyah-nya.(2) dapat dianggap sebagai thariqat yang sah dalam Islam,
Polemik ini sengaja disajikan, untuk lebih melihat bagaimana kehadiran Thariqat Tijaniyah di Indonesia.
Mengapa Terjadi Polemik
Masalah yang terpenting dalam beberapa sanggahan terhadap Thariqat Tijaniyah adalah tentang : keunggulan maqam kewalian Syekh Ahmad al-Tijani, keistimewaan Thariqat Tijaniyah, dan keistimewaan pengamal Tijaniyah.
Dalam melihat tiga hal di atas, ada beberapa kelemahan dari para penentang Thariqat Tijaniyah Kelemahan dimaksud adalah : (1) Tidak tuntasnya mereka dalam membaca dan memahami ungkapan-ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani dan ajaran Tijaniyah, (2) Pemahaman mereka terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-tijani lebih bersifat tekstual, sedangkan kalimat-kalimat ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani banyak yang harus difahami berdasarkan pendekatan kontekstual, dan (3) mereka penentang Tijaniyah tidak mempelajari langsung dari guru-guru Tijaniyah, tetapi mereka mempelajarinya melalui pemahamannya sendiri sehingga penafsiran pemikiran mereka yang dominan lebih cenderung kurang relevan, menjadi subjektif dan bias. Tiga kelemahan para penentang dalam melihat Thariqat Tijaniyah sebagaimana disebutkan, memunculkan polemik. Sampai sekarang pertentangan dalam Thariqat Tijaniyah belum berakhir terutama melalui buku-buku yang diterbitkan dari Kerajaan Saudi Arabia, yang diikuti oleh majalah al-Risalah yang terbit di Solo.
Penyelesaian Polemik
Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik dan benar mengenai persoalan tadi, ada tahapan-tahapan pemikiran yang harus dilalui. Lantaran penilaian, pengertian dan pemahaman yang didapat dari tahapan pemikiran akan menjadi pintu masuk dalam memahami pernyataan dan fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani, tahapan dimaksud adalah :
Tahapan pertama, pemahaman tentang al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan atau masyrab al-Nabawi yang melekat dalam diri Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sebagai sumber kenabian seluruh para nabi. Seluruh para nabi sejak Nabi Adam as., hingga Nabi Isa as., mengambil cahaya kenabian dari Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu seluruh nabi hanyalah melakukan peran kenabian Nabi Muhammad saw., sebelum lahirnya jasad beliau. Berdasarkan hadis “kuntu Nabiyyan wa Adamu Bain al-Mai’ wa al-Thin”.
Tahapan ini perlu dipahami terlebih dahulu sebagai bahan perbandingan memahami khatm al-Wilayah. Tahapan berikutnya memahami dan meyakini tentang khatm al-Wilayah dan atau masyrab kewalian yang melekat dalam diri seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm, sebagai sumber kewalian seluruh wali-wali Allah. Seluruh wali-wali Allah sejak Nabi Adam hingga akhir zaman mengambil cahaya kewalian dari wali khatm ini, oleh karena itu seluruh wali hanya melakukan peran kewalian seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm; yang menurut Ibn Arabi “… wa kadzalika khatm al-Awliya kana waliyyan wa Adamu bain al-Mai’ wa al-Thin”. Tahapan pemikiran ini merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa memasuki dan memahami pernyataan-pernyataan seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm. Apabila pada dataran ini belum dipahami, maka sangat sulit untuk bisa memahami pemikiran dan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali yang mengaku memperoleh maqam wali khatm. Sebab pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani yang terkait dengan keunggulan dirinya muncul dalam kapasitasnya sebagai wali khatm. Keunggulan yang melekat dan dimiliki syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali khatm mengantarkan pada keunggulan ajaran thariqatnya, yakni Thariqat Tijaniyah. Keunggulan ajaran Thariqat Tijaniyah yang diajarkan wali khatm mengantarkan keunggulan ummat Islam yang mengikuti ajarannya.
Dengan demikian pemahaman dan penerimaan terhadap pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani tentang maqam kewaliannya merupakan syarat mutlak untuk bisa memahami terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani, baik tentang dirinya, ajaran thariqat dan pengikutnya. Oleh karena itu sepanjang teori kewalian khususnya teori wali khatm belum diterima, terlebih pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam ini, selama itu pula Thariqat Tijaniyah akan terus dipermasalahkan dan tidak akan ada ujungnya. Namun apabila ada kelompok ummat Islam yang memahami wali khatm sekaligus menerima dan meyakini terhadap pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam wali ini, hemat saya tidak ada yang perlu dipersoalkan, karena persoalan tersebut merupakan hak intelektual seseorang dalam mengimani masalah kewalian sebagai mana paparan al-Qur’an dan hadis.
Sungguhpun demikian dalam penyelesaian polemik tentang Thariqat Tijaniyah tidak sederhana, sebab pembahasan al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan Khatm al-Wilayah termasuk pada wilayah pemikiran dan ummat Islam khususnya kaum tarekat yang mempunyai kemauan dan kemampuan memasuki wilayah ini sangat terbatas, keterbatasan ummat Islam khususnya pengikut tarekat wali Allah dalam memahami wali ini akan melihat bahwa pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm dianggap asing dan akan semakin mengagetkan apabila dihadapkan dengan pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani, yakni tentang keunggulan dirinya, thariqat dan muridnya dan akan muncul kebingungan ketika lebih banyak melihat pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani.
Oleh karena itu sepanjang ummat Islam khususnya kaum tarekat belum mamahami apalagi menerima dan taslim terhadap penagakuan Syekh Ahmad al-Tijani, terhadap wali khatm, selamanya akan terus bertabrakan dan atau bersebrangan dengan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm. Dan mereka akan menganggap sebuah hal yang aneh kelompok ini tidak akan aman dari mengkritik terhadap Syekh Ahmad al-Tijani. Disarankan kepada intelektual Thariqat Tijaniyah yang menggeluti dunia keilmuan untuk lebih banyak mengkaji dan mensosialisasikan teori wali Khatm. Hal ini bisa dilakukan melalui hal-hal berikut : pertama memasukan teori kewalian menjadi Silabi Mata Kuliah Tasawuf; kedua, menyelenggarakan seminar tentang teori kenabian dan teori kewalian diluar kalangan ahli Tijaniyah, terutama dikalangan Perguruan Tinggi; ketiga mengembangkan pusat kajian tasawuf yang berkedudukan di Jakarta.
Hal ini diharapkan untuk lebih bisa menyelesaikan masalah Thariqat Tijaniyah secara bertahap, khususnya yang berkembang di Indonesia. Sebab hemat saya penyelesaian masalah Thariqat Tijaniyah, mesti dilakukan melalui pendekatan ilmiyah, melalui kajian tasawuf terutama teori kenabian dan kewalian. Sebab ada hal yang menarik dari Syekh Ahmad al-Tijani, beliau menggabungkan dua sisi dari tasawuf yang berkembang dalam sejarah Pemikiran Islam yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Sungguhpun secara amaliyah, hemat penulis Thariqat Tijaniyah dengan wirid istighfar, shalawat, dan dzikirnya merupakan hal yang disepakati oleh seluruh ummat Islam bahwa wirid tersebut merupakan amalan yang diperintahkan oleh Qur’an dan hadis. Persoalan ajaran Thariqat Tijaniyah tidak hanya sampai disitu melainkan menembus memasuki wilayah tasawuf falsafi terutama menyangkut hakekat nabi Muhammad saw., dan wali khatm. Hal ini hanya akan bisa diselesaikan melalui pendalaman tentang teori kenabian dan kewalian.
Demikianlah setitik pokok-pokok pikiran untuk bahan diskusi pada forum yang mulia ini, semoga mendorong kita untuk memahami lebih jauh tentang keagungan Syekh Ahmad al-Tijani dan keuntungan murid Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Amin

Proses Kelahiran Thariqat Tijaniyah

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Kelahiran Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum; sebagai telah dikatakan dicapai melalui proses panjang dalam penempaan derajat kewalian. Sebelum diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan sejak usia 7 tahun telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau mendalami berbagai cabang ilmu seperti : Ilmu Usul, ilmu Furu’ dan ilmu Adab. Kemudian mulai usia 21 tahun sampai 31 tahun beliau mendalami teori-teori ilmu tasawuf dan mengamalkan ajaran-ajaran sufi dan dari usia 31 tahun sampai 46 tahun beliau melakukan disiplin ibadah membersihkan jiwa tenggelam mengamalkan amalan wali-wali. Dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah di Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez, dan Abi Samgun. Kunjungan kepada wali besar itu dalam upaya silaturrahmi dan mencari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali besar, sebagaimana telah dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah wali besar bahkan lebih besar derajatnya dari yang lain. Kesaksian para wali besar atas derajat kewalian Syekh Ahmad al-Tijani yang tinggi diakui dan disaksikan dihadapan Syekh Ahmad al-Tijani. Ungkapan kesaksian demikian bisa terjadi, karena di dunia sufi diakui bahwa seorang wali bisa melihat wali, derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang Hakekatnya berasal dari Allah swt. Derajat wali semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah, apabila seorang wali dengan ilmu ma’rifahnya dan atas anugerahnya bisa mengetahui derajat sesama wali.
Proses panjang ilmu-ilmu kewalian, melalui perjalanan panjang kunjungan Syekh Ahmad al-Tijani kepada kepada pembesar wali, dengan kesaksian-kesaksiannya, berakhir di Padang Sahara, daerah tempat wali besar Abu Samghun. Pada tahun 1196 H., beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samgun. Di tempat inilah (Pada tahun 1196 H.) Syekh Ahmad al-Tijani mencapai anugerah dari Allah, yaitu الفتح الأكبر “(pembukaan besar)”.
Pada saat al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mengaku, berjumpa dengan Rasulullah saw., melihat Rasulullah saw., secara يقظة “(dalam keadaan sadar lahir batin)”, bukan dalam keadaan mimpi. Saat demikian menjadi momentum yang penting dan menentukan bagi Syekh Ahmad al-Tijani, pada saat al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah saw., berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H.) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah saw., dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., melalui al-Fath, perjumpaan secara yaqzhah ini memberikan kepada Syekh Ahmad al-Tijani otoritas sebagai Shahib al-Thariqah.
Sebagaimana telah dijelaskan, pada saat talqin, Rasulullah saw., juga menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani. Karena kedudukan dan derajat ajaran wiridnya yang sangat tinggi, Rasulullah saw. memerintahkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani agar hanya berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu, meninggalkan wirid-wirid yang lain, dan juga meninggalkan para wali yang lain. hal ini menunjukan jaminan Rasulullah saw., atas keunggulan wirid tersebut, atas wirid-wirid yang lain, dan jaminan Rasulullah saw., menjadi pembimbing, penanggung jawab, dan sekaligus perantara dihadapan Allah sebab, menurut Ali Harazim, melalui Rasulullah saw., segala sesuatu diturunkan dari Allah swt. Perintah meninggalkan thariqat dan wali yang lain disebabkan oleh kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani yang tinggi, sebagaimana telah dijelaskan. Atas jaminan-jaminan demikian, mulailah Syekh Ahmad al-Tijani mengajarkan thariqatnya kepada setiap ummat Islam yang berminat.
Sistem Dasar Pembentukan Thariqat Tijaniyah
Menurut Syekh al-Sya’rani, sebagaimana dikutip oleh Ali Harazim, ajaran thariqat kaum sufi berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berasal dari metode suluk yang dipraktikan oleh Rasulullah saw. Dari landasan ini, unsur sanad (silsilah) yaitu urutan-urutan guru secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah saw., sangat penting dalam thariqat. Idealnya, setiap guru dalam sanad bertemu langsung dengan guru di atas dan seterusnya sampai sumber utama Rasulullah saw. Namun dalam kenyataannya tidak semua talqin thariqat menggunakan sanad demikian sebab ada talqin yang disampaikan langsung antara syekh Thariqat dengan Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw., meninggal dunia, sistem demikian biasa dinamakan sistem “Barzakhi”.
Bimbingan Rasulullah saw., kepada para wali dalam keadaan jaga mengantarkan pada satu pemahaman bahwa amalan wirid para wali termasuk didalamnya amalan thariqat muncul sebagai buah mujahadahnya dan hal ini merupakan anugerah Allah swt. Oleh karena itu menurut KH. Badruzzaman banyak thariqat para wali dasar pembentukannya melalui talqin barzakhi. Untuk itu ia menyebutnya sebagai thariqat Barzakhiyah artinya amalan yang diterima dari Nabi Muhammad saw., setelah beliau meninggal dunia. Selanjutnya dikatakan bahwa semua amalan thariqat besar yang berkembang di dunia Islam terbentuk melalui talqin barzakhi kecuali thariqat Qadiriyah, karena sanad thariqat ini bersambung kepada Rasulullah saw. melalui Sayyidina Ali Kw.
Thariqat Tijaniyah termasuk thariqat yang dasar pembentukannya menggunakan sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Thariqat Tijaniyah, sebagaimana tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaran-ajaran itu tidak diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya, tetapi diperoleh langsung oleh Syekh Ahmad al-Tijani dari Rasulullah saw., dalam perjumpaan secara yaqzhah. Pejumpaan dengan melihat Rasulullah saw., walaupun telah berada di alam barzakh, yang dialami oleh Syekh Ahmad al-Tijani, adalah peristiwa yang menurut tradisi thariqat, merupakan hal yang biasa dan bisa terjadi terutama dialami oleh wali-wali besar.
Bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan wali. Dan karamah seperti inilah yang senantiasa diharapkan dan dicita-citakan oleh para wali Allah swt. Sebab berjumpa dengan Rasulullah saw., dan melihatnya dengan yaqzhah (dalam keadaan jaga) tidak dalam keadaan tidur atau mimpi menunjukan jaminan maqam kewalian seseorang dari Rasulullah saw., sebagaimana akan dilihat nanti.
Melihat dasar pembentukan thariqat tijaniyah sebagai mana disebutkan di atas, bagi orang yang percaya bahwa hal tersebut memang terjadi, berarti mereka sudah meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani memperoleh kedudukan yang tinggi, dan berarti pula thariqat tijaniyah adalah thariqat yang mempunyai sanad sampai kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu amalan Thariqat Tijaniyah adalah amalan Nabi Muhammad Saw.[]

Profil Syekh Ahmad Al-Tijani

Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman

Nama Syekh Ahmad al-Tijani (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui ajaran thariqat yang dikembangkannya yakni Thariqat Tijaniyah. Untuk mengetahui kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, penulis menelusurinya melalui Kitab-kitab yang memuat kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani terutama kitab-kitab yang di tulis Khalifah Syekh Ahmad al-Tijani diantaranya kitab Jawahir al-Ma`ani (Mutiara-mutiara Ilmu). tulisan Syekh Ali Harazim.
Dalam kitab-kitab yang menulis kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi, sebuah desa di Al-jazair. Mengenai tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Nama al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar Tilimsan, Aljazair; dari pihak ibu, dan Syekh Ahmad al-Tijani berasal dari suku tersebut. Keluarga Syekh Ahmad Al-Tijani adalah keluarga yang dibentuk dengan tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syekh Ahmad al-Tijani adalah seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia balig dinikahkan oleh ayahnya. Sejak usia berapa tahun beliau menikah? Dalam kitab-kitan yang menulis riwayat hidup Syekh Ahmad al-Tijani tidak dijelaskan. Namun apabila dihubungkan dengan tahun meninggal kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni tahun 1166 H. Diduga beliau nikah antara usia 15-16 tahun, sebab beliau lahir pada tahun 1150 H. Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak secara berturut-turut memimpin zawiyah (pesantren Sufi yang beliau dirikan).
Mengenai tempat meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati bahwa beliau wafat di kota Fez Maroko. Hal ini bisa dimengerti karena sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syekh Ahmad al-Tijani mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Maroko. Sebagaimana tempat wafatnya, tahun wafatnyapun disepakati, yakni beliau wafat pada tahun 1230 H., dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir pada tahun 1150 H. Demikian juga mengenai hari dan tanggal wafatnya, disepakati bahwa beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal dan dimakamkan di kota Fez Maroko.

Friday, April 18, 2008

Nasab Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijany RA.


Beliau adalah seorang bangsawan yang tergolong trah Ahlul Baiti Rasulullah Saw. dengan nasab dari Siti Fatimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallaahu Wajhahu (ba’Alawi / Alawiyyin) dari garis Sayyidina Hasan (Al Hasany). Beliau keturunan ke 24 dari Rasulullah Saw. lengkapnya adalah : Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Al ‘iid bin Salim bin Ahmad Al Alwany bin Ahmad bin Ali bin Abdillah bin Abbas bin Abdil Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Muhammad An Nafsiz Zakiyyah bin Abdullah al Kamil bin Hasan Al Mutsanna bin Hasan As Sibti bin Ali bin Abi Tholib dari Sayyidah Fatimah Al Zahra Al Batul binti Rasulullah Saw.

Ibu beliau adalah seorang wanita shalihah, Sayyidah Aisyah binti Sayyid Al Jalil Abi Abdullah bin Sanusi At Tijany Al Madhowi, Al Madhowi bernisbat pada desa Ain Al Madi sebuah desa yang terkenal di Gurun Sahara timur kota Maroko di Magribil Aqsha ( Afrika barat)

Nasab Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijany RA.

Beliau adalah seorang bangsawan yang tergolong trah Ahlul Baiti Rasulullah Saw. dengan nasab dari Siti Fatimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallaahu Wajhahu (ba’Alawi / Alawiyyin) dari garis Sayyidina Hasan (Al Hasany). Beliau keturunan ke 24 dari Rasulullah Saw. lengkapnya adalah : Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Al ‘iid bin Salim bin Ahmad Al Alwany bin Ahmad bin Ali bin Abdillah bin Abbas bin Abdil Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Muhammad An Nafsiz Zakiyyah bin Abdullah al Kamil bin Hasan Al Mutsanna bin Hasan As Sibti bin Ali bin Abi Tholib dari Sayyidah Fatimah Al Zahra Al Batul binti Rasulullah Saw.

Ibu beliau adalah seorang wanita shalihah, Sayyidah Aisyah binti Sayyid Al Jalil Abi Abdullah bin Sanusi At Tijany Al Madhowi, Al Madhowi bernisbat pada desa Ain Al Madi sebuah desa yang terkenal di Gurun Sahara timur kota Maroko di Magribil Aqsha ( Afrika barat)

Monday, March 10, 2008

Ali bin Abi Thalib R.A Wa K.W.

‘Alī bin Abī Thālib (Bahasa Arab: علي بن أﺑﻲ طالب) (Bahasa Persia: علی پسر ابو طالب)‎ (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. SedangkanSyi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib
Syi'ah
Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sunni
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi[1] atau 600[2](perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tesebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib

Utsman bin Affan R.A.

Utsman bin Affan (bahasa Arab: عثمان بن عفان) (sekitar 574 - 656) adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Usman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Dialah yang berjasa membeli sumur dari orang Yahudi yang memonopoli air di Madinah. Beliau juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur'an.
Beliau adalah kalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 hingga 656.
Kisah Utsman Bin Affan R.A.
Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada 'Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. 'Utsman berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu." Laki-laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah Saw wafat?" `Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin." `Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bcrsih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti 'Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Artinya, setiap maksiat itu kotor, dan menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga membuatnya kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).
Semakin lama, kemaksiatan yang dilakukan membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi gelap dan menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada jalan lagi untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman Nya, Dan hati mereka telah dikunci mati, sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman dan berjihad. (QS Al Taubah [9]: 87)
Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti 'Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap. Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini. Apabila kita bertemu dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.
Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati 'Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah merebut tongkat 'Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya. Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)
Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam mendatangi `Utsman r.a. yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan salam kepadanya. 'Utsman bercerita, "Selamat datang saudaraku. Aku melihat Rasulullah Saw dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, "Utsman, apakah mereka mengurungmu?' Aku menjawab, `Ya.' Lalu beliau memberikan seember air kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, `Kalau kau mau bebas.niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari ikut kami.' Kemudian aku memilih makan bersama mereka." Pada hari itu juga, `Utsman terbunuh.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah ini adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan beberapa sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut Ibnu Bathis, apa yang dialami 'Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga bisa dianggap karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka mimpi ketika tidur tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai karamah. Hal ini disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para wali. (Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari kitab Itsbat al-Karamah karya Ibnu Bathis)
Sumber : Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Utsman_bin_Affan & http://kawansejati.ee.itb.ac.id/utsman-bin-affan-r-a

Umar bin Khattab R.A.

Umar bin Khattab (581 - November 644) (bahasa Arab: عمر بن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Ar-Rasyidin.
Latar belakang
Ia memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, terlahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Orangtuanya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim.
Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.
Sebelum Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakan sendiri, "Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku".
Mabuk-mabukan juga merupakan hal yang umum dikalangan kaum Quraish. Beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali. Tetapi, setelah masuk Islam, belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas. Sehingga ada kisah, Pada malam hari, Umar bermabuk-mabukkan sampai Subuh. Ketika waktu Subuh tiba, beliau pergi ke masjid dan ditunjuk sebagai imam. Ketika membaca surat Al-Kafirun, karena ayat 3 dan 5 bunyinya sama, setelah membaca ayat ke 5, beliau ulang lagi ke ayat 4 terus menerus. Akhirnya, Allah menurunkan larangan bermabuk-mabukkan yang tegas.
Memeluk Islam
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya.
Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu'aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur'an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur'an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.
Kehidupan di Madinah
Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yathrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW
Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad.
Kematian Muhammad SAW
Setelah sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad SAW wafat pada hari senin tanggal 8 Juni 632 (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah), di Madinah.
Persiapan pemakamannya dihambat oleh Umar yang melarang siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi tidaklah wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. (Hayatu Muhammad, M Husain Haikal)
Abu Bakar yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, demi mendengar kabar itu lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar sedang menahan muslim yang lain dan lantas mengatakan.
"Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi barangsiapa mau menyembah Tuhan, Tuhan hidup selalu tak pernah mati."
Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur'an :
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (surat Ali 'Imran ayat 144)
Umar lantas menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
Masa kekhalifahan Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya.
Menjadi khalifah
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di jaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Kematian
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk, seorang budak pada saat ia akan memimpin shalat. Pembunuhan ini konon dilatarbelankangi dendam pribadi Abu Lukluk terhadap Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Khattab

Abu Bakar Shiddiq R.A.

Abu Bakar (bahasa Arab أبو بكر الصديق, Abu Bakr ash-Shiddiq) (lahir: 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H) termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama pada tahun 632. Beliau bernama asli Abdullah ibni Abi Quhaafah.
Arti nama
Abu Bakar berarti 'ayah si gadis', yaitu ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Sumber lain menyebutkan namanya adalah Abdullah bin Abu Quhafah (Abu Quhafah adalah kunya atau nama panggilan ayahnya). Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar'), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq.
Memeluk Islam
Abu Bakar dilahirkan di Mekkah dari keturunan Bani Taim, suku bangsa Quraish. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi. Berdasarkan keadaan saat itu dimana kepercayaan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW lebih banyak menarik minat anak-anak muda, orang miskin, kaum marjinal dan para budak, sulit diterima bahwa Abu Bakar justru termasuk dalam mereka yang memeluk Islam dalam periode awal dan juga berhasil mengajak penduduk mekkah dan kaum Quraish lainnya mengikutinya (memeluk Islam).
Awalnya ia dikenal dengan nama Abdul Ka'bah (pelayan Ka'bah), setelah memeluk Islam ia menggunakan nama Abdullah (pelayan Tuhan). Namun, ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar (dari bahasa arab Bakr yang berarti unta muda) karena minatnya dalam berternak unta.
Era bersama Nabi
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :
· Bilal bin Rabah· Abu Fakih· Ammar· Abu Fuhaira · Lubainah· An Nahdiah· Ummu Ubays· Zinnira
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Menjadi Khalifah
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musnyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum sunni dan syi'ah. Di satu sisi kaum syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.sementara muslim syi'ah berpendapat kalau rosulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan,minum,tidur,dll,tidak pernah meninggal umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir.dan juga banyak hadits di sunni maupun syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal rosulullah saw,serta jumlah pemimpin islam yang dua belas.kalau memang musyawarah kenapa tidak menampilkan tokoh bani hasyim,dan cobalah kita simak kembali jalan musyawarah di saqifah bani sa'idah.kalau memang penunjukkan pemimpin dengan musyawarah,bagaimana dengan kholifah umar yang memimpin dengan wasiat kholifah abu bakar,atau kenapa kholifah mu'awiyah merubahnya menjadi kerajaan monarki,dan kenapa dibenarkan khilafah abbasiah yang menggantikan khilafah bani umayah dengan pemberontakan dan peperangan.mungkin kita harus lebih dalam lagi membaca sejarah islam dengan refrensi lengkap. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma,mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Perang Ridda
Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW.Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Ekspedisi ke utara
Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke suriah juga meraih sukses.
Qur'an
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghapal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghapal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah team yang diketuai oleh shahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
Kematian
Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah.Abu Bakar dimakamkan di Masjid Nabawi, di samping makam Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar

Khulafaur Rasyidin

Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa'ur Rasyidin adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam Sunni, sebagai pengganti Muhammad, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semuanya adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi ciri-ciri kekhalifahan selanjutnya.
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi Muhammad tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau, yang ditolak oleh kalangan Syi'ah. Menurut Syi'ah, Muhammad sudah jelas menunjuk pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib sesuai dengan Hadits Ghadir Khum.
Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin terdiri dari empat khalifah sahabat Nabi Muhammad SAW adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib.
Abu Bakar
Ketika Rasulullah SAW sakit keras, beliau tidak dapat mengimami shalat jamaah. Maka ditunjuklah Abu Bakar untuk menggantikannya. Bagi sebagian warga Madinah, ini adalah indikasi bahwa suksesi kepemimpinan Rasulullah SAW diteruskan kepada Abu Bakar. Ketika Rasulullah wafat, sebagian kalangan muslim Anshar dan beberapa orang dari pihak Muhajirin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah. Sempat terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dan akhirnya, terpilihlah Abu Bakar as-Siddiq sebagai Khalifah pertama.
Umar bin Khattab
Ketika Abu Bakar merasakan sakitnya semakin berat, ia mengumpulkan para sahabat besar dan menunjuk Umar bin Khattab sebagai Khalifah. Para sahabat setuju dan Abu Bakar meninggalkan surat wasiat yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.
Utsman bin Affan
Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, muncul dua nama yang bersaing ketat yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keputusan terakhir diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf sebagai ketua Dewan yang kemudian menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah
Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru.
Lainnya
Sebagian kalangan ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
http://id.wikipedia.org/wiki/Khulafaur_Rasyidin

Muhammad SAW menurut Michael H Hart Dalam Buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh Di Dunia

Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.

Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala dia berusia empatpuluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.

Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.

Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mektah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

Suku Bedewi punya tradisi turun-temurun sebagai prajurit-prajurit yang tangguh dan berani. Tapi, jumlah mereka tidaklah banyak dan senantiasa tergoda perpecahan dan saling melabrak satu sama lain. Itu sebabnya mereka tidak bisa mengungguli tentara dari kerajaan-kerajaan yang mapan di daerah pertanian di belahan utara. Tapi, Muhammadlah orang pertama dalam sejarah, berkat dorongan kuat kepercayaan kepada keesaan Tuhan, pasukan Arab yang kecil itu sanggup melakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam sejarah manusia. Di sebelah timurlaut Arab berdiri Kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di baratlaut Arabia berdiri Byzantine atau Kekaisaran Romawi Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya.

Ditilik dari sudut jumlah dan ukuran, jelas Arab tidak bakal mampu menghadapinya. Namun, di medan pertempuran, pasukan Arab yang membara semangatnya dengan sapuan kilat dapat menaklukkan Mesopotamia, Siria, dan Palestina. Pada tahun 642 Mesir direbut dari genggaman Kekaisaran Byzantine, dan sementara itu balatentara Persia dihajar dalam pertempuran yang amat menentukan di Qadisiya tahun 637 dan di Nehavend tahun 642.

Tapi, penaklukan besar-besaran --di bawah pimpinan sahabat Nabi dan penggantinya Abu Bakr dan Umar ibn al-Khattab-- itu tidak menunjukkan tanda-tanda stop sampai di situ. Pada tahun 711, pasukan Arab telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke utara dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan Visigothic di Spanyol.
Sepintas lalu orang mesti mengira pasukan Muslim akan membabat habis semua Nasrani Eropa. Tapi pada tahun 732, dalam pertempuran yang masyhur dan dahsyat di Tours, satu pasukan Muslimin yang telah maju ke pusat negeri Perancis pada akhirnya dipukul oleh orang-orang Frank. Biarpun begitu, hanya dalam tempo secuwil abad pertempuran, orang-orang Bedewi ini -dijiwai dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad- telah mendirikan sebuah empirium membentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik, sebuah empirium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia. Dan di mana pun penaklukan dilakukan oleh pasukan Muslim, selalu disusul dengan berbondong-bondongnya pemeluk masuk Agama Islam.

Ternyata, tidak semua penaklukan wilayah itu bersifat permanen. Orang-orang Persia, walaupun masih tetap penganut setia Agama Islam, merebut kembali kemerdekaannya dari tangan Arab. Dan di Spanyol, sesudah melalui peperangan tujuh abad lamanya akhirnya berhasil dikuasai kembali oleh orang-orang Nasrani. Sementara itu, Mesopotamia dan Mesir dua tempat kelahiran kebudayaan purba, tetap berada di tangan Arab seperti halnya seantero pantai utara Afrika. Agama Islam, tentu saja, menyebar terus dari satu abad ke abad lain, jauh melangkah dari daerah taklukan. Umumnya jutaan penganut Islam bertebaran di Afrika, Asia Tengah, lebih-lebih Pakistan dan India sebelah utara serta Indonesia. Di Indonesia, Agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu. Di anak benua India, nyaris kebalikannya: adanya agama baru itu menjadi sebab utama terjadinya perpecahan.

Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar terhadap sejarah ummat manusia? Seperti halnya lain-lain agama juga, Islam punya pengaruh luar biasa besarnya terhadap para penganutnya. Itu sebabnya mengapa penyebar-penyebar agama besar di dunia semua dapat tempat dalam buku ini. Jika diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam, dengan sendirinya timbul tanda tanya apa alasan menempatkan urutan Nabi Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalam daftar. Ada dua alasan pokok yang jadi pegangan saya. Pertama, Muhammad memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap Agama Nasrani. Biarpun Nabi Isa bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda dengan Yudaisme), St. Paul merupakan tokoh penyebar utama teologi Kristen, tokoh penyebarnya, dan penulis bagian terbesar dari Perjanjian Lama.

Sebaliknya Muhammad bukan saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika dan moralnya. Tambahan pula dia "pencatat" Kitab Suci Al-Quran, kumpulan wahyu kepada Muhammad yang diyakininya berasal langsung dari Allah. Sebagian terbesar dari wahyu ini disalin dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih hidup dan kemudian dihimpun dalam bentuk yang tak tergoyangkan tak lama sesudah dia wafat. Al-Quran dengan demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad serta ajaran-ajarannya karena dia bersandar pada wahyu Tuhan. Sebaliknya, tak ada satu pun kumpulan yang begitu terperinci dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai di masa sekarang. Karena Al-Quran bagi kaum Muslimin sedikit banyak sama pentingnya dengan Injil bagi kaum Nasrani, pengaruh Muhammad dengan perantaraan Al-Quran teramatlah besarnya. Kemungkinan pengaruh Muhammad dalam Islam lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen digabung jadi satu. Diukur dari semata mata sudut agama, tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam sejarah kemanusiaan.

Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.

Dari pelbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan khusus dari seseorang yang mengepalai mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika Selatan mungkin saja bisa membebaskan diri dari kolonialisme Spanyol walau Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi, misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab. Tak ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan tak ada alasan untuk menyangkal bahwa penaklukan bisa terjadi dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan dalam hal penaklukan dalam sejarah manusia di abad ke-13 yang sebagian terpokok berkat pengaruh Jengis Khan. Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan

Ini jelas menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya, sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral Al-Quran di kalangan kaum Muslimin dan tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantarakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan terjadi di abad ke l3. Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa negara tentu terjadi -tentu saja- dan nyatanya memang begitu, tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih berwujud. Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya penghasil minyak, tidak ikut bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim dingin tahun 1973 - 1974. Sebaliknya bukanlah barang kebetulan jika semua negara Arab, semata-mata negara Arab, yang mengambil langkah embargo minyak.

Jadi, dapatlah kita saksikan, penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus memainkan peranan penting dalam sejarah ummat manusia hingga saat ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.
Sumber : http://media.isnet.org/iptek/100/Muhammad.html

Thursday, February 7, 2008

Bagian 16 Terjemahan Aswaja

Kemudian ia berkata : Kembalikanlah ruh seorang Mukmin itu ke bumi. Sesungguhnya Aku, Tuhanmu telah menjanjikan kepada manusia bahwa Aku (Allah Swt) telah menciptakan manusia dari bumi dan kepadanya Aku mengembalikannya, dan daripadanya pula Aku mengeluarkannya di kesempatan yang lain. Maka dikembalikanlah ruh itu ke bumi dan masuk kembali ke jasadnya.

Sekembalinya ruh itu ke jasadnya datang dua Malaikat yang dengan kasar dan lantang menghampirinya dan mendudukkan hamba tersebut. Pada saat itulah dua Malaikat itu melontarkan berbagai pertanyaan kepadanya :
من ربّك ؟ ومــا دينــك ؟ فيقـــول ربّى الله. ودينى الاسلام
?Siapa Tuhanmu ? dan apa agamamu, ia pun menjawab : Allah adalah Tuhanku dan Islam adalah agamaku".

Dua Malaikat itu kembali melontarkan pertanyaan :
فما تقول فى هذالرجل الذى بعث فيكم ؟ فيقول هو رسول الله : وما يدريك ؟ فيقــول جآءنا بالبيــنات من ربّنا فا منت به وصـدقّت.
"Apa komentarmu kepada seorang laki-laki yang telah diutus kepada kalian semua ? Hamba itu menjawab : Ia adalah Rasulullah ! apa yang kamu ketahui tentang dia ? Hamba Mu?min itu menjawab : Dia datang kepada kita dengan membawa bukti yang jelas dari Tuhanku maka aku mengimaninya dan membenarkannya".

Kisah ini merupakan esensi makna dari sebuah firman Allah : يثبت الله الذين امنــوابالقــول الثابت فى الحيـاة الدنيا وفى الأخرة
?Allah telah mengokohkan (keyakinan) orang-orang yang beriman dengan qoul al - Tsabit / ucapan yang tetap di dalam kehidupan dunia dan akhirat?

Rasulullah Saw bersabda : Pada saat itu muncullah sebuah seruan menggema dari langit : Sungguh kebenaran telah ada pada hambaku. Maka ialah yang berhak atas surga, saat itulah surga dibentangkan dan dalam bentuk seorang laki-laki yang cakep wajahnya, wangi baunya dan bajunya indah menawan, seorang laki-laki jelmaan itu lantas berkata ; bersenang senanglah kalian semua atas apa yang telah Allah ?Azza Wajalla janjikan kepadamu, berbahagialah atas keridlaan dari Allah dan surga-surga yang didalamnya terhimpun beberapa kenikmatan yang ditetapkan. Seorang hamba mukmin itu menimpalinya dengan do?a mudah-mudahan Allah menyenangkan kamu dengan segala kebaikan ! siapakah kalian ? wajahmu hadir kepadaku dengan segala kebaikan ! maka lelaki jelmaan amal itupun menjawab hari ini adalah hari-harimu, dimana engkau menerima balasan yang dijanjikan, dan ini adalah ketentuan sebagaimana yang dijanjikan, aku adalah amalmu yang baik, demi Allah sungguh aku tidak menyaksikan engkau kecuali engkau senantiasa bergegas dengan penuh semangat di dalam taat kepada Allah Swt, dan engkau begitu lamban dan nyaris takmelakukan maksiatillah, maka mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepada-Mu. Dan hamba Mukmin itupun berdo?a : Wahai Tuhanku datangkanlah hari Qiamat agar aku dapat kembali berkumpul dengan sanak keluarga dan hartaku.

Rasulullah Saw bersabda : Apabila seorang hamba berperilaku dosa dan penyelewengan, maka ketika seorang hamba itu tiba di hari akhirat dan terputus dari kehidupan dunia, datanglah seorang Malaikat, lantas ia duduk di dekat kepalanya dan berkata : ?Keluarlah wahai nyawa yang buruk, bersenang-senanglah kalian atas kebencian dan kemarahan Allah. maka turunlah Malaikat itu dengan wajah hitam nan garang dan pakaian kasar yang semerawut, ketika Malaikat itu mencabut ruhnya maka Malaikat yang lainpun berdiri dan mereka tidak menahan ruhnya digenggamannya sekejab matapun?.

Nabi Muhammad Saw bersabda : Jasad hamba yang berdosa itu menjadi terpisah-pisah lantas malaikat mengeluarkan ruh itu dengan tersendat-sendat hingga uratnya terputus-putus ibarat tusuk-tusuk sate yang besar dan tajam ditancap-tancapkan pada kain basah yang terbuat dari bulu-bulu domba, betapa pedihnya ! Ruh itu sengaja diambil oleh Malaikat sehingga ruh itu keluar dalam keadaan busuk dan betapa menjjikkan baunya, seandainya bau ruh itu ditebarkan di permukaan antara langit dan bumi niscaya penduduk bumi itu berujar Hiiih ........... bau ruh siapa ini ? begitu menjijikkan ! para Malaikatpun menyahut : Ini adalah ruh Fulan seraya menyebutkan nama yang begitu buruk, suara / informasi itupun menyeru ke seantero jagat langit dan bumi. Untuk itu Malaikat tidak bersedia membukakan pintu langit untuk hamba pendosa itu.
Allahpun lantas berfirman :
ردوه الى الارض ,انى وعدتهم اني منها خلقناهم, وفيهانعيدهم, ومنها نخرجهم تارة اخرى.

?Kembalikanlah ruh busuk itu ke bumi wahai para Malaikat, sesungguhnya Aku telah menyampaikan janji-Ku kepada mereka (manusia) bahwa Aku telah menciptakan mereka dari bumi, kepada bumi itu juga aku akan mengembalikan mereka dan nantinya Aku akan mengeluarkan kembali mereka dari bumi itu; maka ruh itupun lantas dicampakka ke bumi?.
Imam Barrok berkata : selepas rasul mengisahkan riwayat ini, beliau lantas membacakan sebuah ayat :
ومن يشرك با لله فكأ نما خر من السماء : الأية

?Barang siapa mempersekutukan Allah Swt, maka seolah-olah orang itu terjun terjungkal (ke bumi) dari langit?.

Dan hamba pendosa itu dikembalikan ke bumi beserta ruhnya. Kemudian dua sosok malaikat yang kasar mendatanginya dengan bentakan yang begitu keras, hingga hamba pendosa itu terduduk; dan Malaikat itupun mulai menanyainya: ?Siapa Tuhanmu ? dan apa agamamu !? Hamba itu memberanikan diri menjawabnya dengan tanpa jawaban, sambil gemetar ia berkata: ?Aku tidak tahu, tetapi sebenarnya aku pernah mendengar bahwa semua manusia mengucapkan / mengikrarkannya; Malaikat kembali membentaknya: Kok kamu ndak tahu ! pada saat itulah liang kubur menyempit dan menghimpit hamba fajir tersebut hingga tulang-tulang rusuknya ?mblesat? bercerai berai?.

Selanjutnya segala amal buruk hamba itu menjelma menjadi seorang laki-laki yang jelek rupanya, baunya busuk dengan pakaian yang begitu kumal, dan iapun menyapanya : ?Berbahagialah kamu dengan adzab dan kebencian dari Allah Swt ! dengan segala kebengongan hamba itu berkata : siapa kamu ? kau datang dengan wajah dan pakaian yang begitu menjijikkan. Lelaki itu menjawab ; aku adalah amal keburukanmu ! Demi Allah aku tidak menyaksikan kamu kecuali malas dalam mengerjakan taat kepada Allah Swt dan engkau begitu antusias dan semangat dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt?.

Pada saat itulah lantas datang kepadanya seorang Malaikat yang tuli dan buta dengan membawa tongkat besi yang begitu besar, seandainya saja sebuah gunung dipukul dengan tongkat itu niscaya ia akan hancur lulur menjadi abu dan remukan-remukan batu. Malaikat itupun bertandang menghajar seorang hamba itu dengan kerasnya sehingga semua makhluk yang dibumi mampu mendengarnya kecuali jin dan manusia. Kemudia ruh dan jasad seorang hamba itu kembali menyatu setelah hancur lebur dan Malaikat kembali menghajarnya. Hadits ini merupakan riwayat yang mashur dan telah diriwayatkan oleh sejumlah para Imam yang menjadi sanadnya, termasuk didalamnya adalah Imam Ahmad.

Imam Al ? Haramaini, Al ? Faqih Abu Bakar bin al ? ?Araby dan Al-Imam Syaifuddin berkata: ?Ulama Salaf al ? Shalih sebelum munculnya para penentang konsepsi dasar agama, secara bulat menyepakati atas ketetapan hidupnya kembali orang-orang yang telah meninggal dunia didalam kuburnya, adanya pertanyaan dari dua orang malaikat kepada manusia dan ketetapan tentang wujudnya adzab kubur bagi orang-orang yang berdosa dan orang-orang kafir. Hal ini menjadi keyakinan yang kokoh dengan landasan firman Allah SWT :
وأحييتنا اثنتين
?Dan aku menjadikan dua kehidupan yang lain (setelah kematian )?

Ayat ini ditafsiri dengan hidupnya kembali orang yang telah mati, karena hendak menghadapi pertanyaan dua malaikat dialam kubur. Dan hidupnya kembali orang yang mati dihari penggiringan mereka kealam makhsyar. Oleh karena itulah dua kehidupan itu telah Allah Swt. informasikan kepada segenap manusia. Sedangkan kehidupan yang pertama yakni kehidupan didunia, Allah Swt. telah menginformasikannya kepada manusia. Namun paska munculnya rang-orang yang kontra terhadap masalah ini beberapa ulama tidak menyepakatinya, tetapi mayoritas dari ulama Salafuna al ? Shalih tetap menyepakatinya.

Selanjutnya ketahuilah bahwa apa saja yang terkandung dalam hadist ini yakni keberadaan malikat maut, malaikat Mungkar Nakir, dan malaikat-malaikat yang lain, termasuk juga tempat-tempat yang yang ada dihari qiyamat nanti adalah merupakan hal-hal yang memiliki kesamaran didalam sifatnya, dan hampir saja tidak ada jalan yang cukup rasional didalam mengungkap sifat-sifat itu secara mendetil, kalau bukan karena keimanan. Oleh karenaitu seorang hamba sengaja diuji oleh Allah Swt sejauh mana kekokohan keimanannya dalam menyikapi hal-hal yang ghaib.

Ulama Ahli al ? Sunnah wa al- Jama?ah menyepakati bahwa orang-orang yang telah meninggal dunia dapat mengambil dua kemanfaatan yang dapat memberikan pertolongan kepadanya yakni; segala bentuk usaha (ibadah) yang ia lakukan sendiri semasa hidupnya. Yang kedua adalah do?a dari orang-orang mukmin, permohonan ampun mereka untuk simayyit, pahalanya shadaqah dan ganjaran ibadah haji yang dilakukan oleh ahli waris untuk mayit. Sedangkan tentang berbagai bentuk ibadah-ibadah yang bersifat badaniah termasuk puasa, shalat, menbaca Al ? Qur?an, dan berzikir, dikalangan ulama Ahli al ? Sunnah wa al ? Jama?ah sendiri masih dipertentangkan.

Dalam kontroversi ini ?Jumhuri al ? Salaf al ? Shaleh? menyatakan sampainya pahala ? pahala yang bersifat badaniyyah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup untuk mayit. Tetapi sebagian dari ahli al ? bid?ah itu dapatlah kita bantah dengan landasan Al ? Kitab dan Al ? Sunnah. Berkaitan dengan istidlal (pencarian dalil) yang menjadi alasan bagi ahli bid?ah yakni Firman Allah Swt :
وان ليس للانسان الا ما سعى
?Dan tidaklah tetap bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan?.

Dapat lah kita tolak, bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidaklah menangghkan pengambilan kemanfaatan seseorang atas usaha orang lain. Dan yang Allah Swt nafikan adalah orang lain tidak dapat ikut memiliki hasil usaha (ibadah) dari orang yang selainnya. Adapun apa saja yang diusahakan oleh orang lain adalah menjadi miliknya sendiri sehingga ia memiliki kebebasan , apakah ia menghendaki untuk menyerahkan pahala amal ibadahnya kepada orang lain, atau ia menetapkan pahala dari apa yang ia usahakan itu untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini jelaslah bahwa Allah Swt tidak menyatakan bahwa sesungguhnya seseorang itu tidak boleh mengambil kemanfaatan sama sekali kecuali terhadap apa yang ia usahakan sendiri.

Keterangan ini adalah merupakan akhir dari isi kitab yang saya karang ?Wallahu A?lam bi al ? Shawab?, dan hanya kepada Allahlah tempat kembali, dan Dia-lah Dzat Yang memberikan kecukupan kepadaku. Dan sebaik-baiknya Dzat yang diserahi segala urusan. ?Laa Haula walaa Quwwata illa billahi al - ?Aliyyi al ? ?adzimi? Tidaklah ada kekuatan untuk dapat menghindari segala bentuk kemaksiatan dan kesanggupan dalam memenuhi segala bentuk ketaatan dalam beribadah kecuali hanya dengan pertolongan Allah Swt Dzat yang Maha Luhur dan Maha Agung.

Mudah-mudahan shalawat dan salam senantiasa tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad Saw. segenap keluarganya dan pengikut-pengikutnya yang tetap berpegang teguh kepada kebaikan hingga hari qiamat nanti.
?Wa al ? Hamdulillahi Rabbi al ? ?Alamiin?

Jember, 7 Syawwal 1426 H
Penerjemah
Ahmad Zainul Hakim,S.EI

Bagian 15 Terjemahan Aswaja

SEBUAH PASAL
TENTANG CERITA ORANG?ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA DIMANA MEREKA TETAP MAMPU DIAJAK DIALOG, MEREKA TAHU SIAPA YANG MEMANDIKANNYA, SIAPA PULA YANG MEMIKUL DAN MENGKAFANINYA, JUGA SIAPA YANG MEMASUKKANNYA KELIANG KUBUR, DAN JUGA CERITA-CERITA TENTANG BAGAIMANA ORANG YANG TELAH WAFAT ITU KEMBALI MENJALANI KEHIDUPAN BARUNYA SETELAH KEMBALINYA RUH PADA JASAD.

Keterangan mengenai kemampuan orang-orang yang telah wafat bahwa ia dapat mendengar dan berdialog dapatlah dikemukakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al ? Bukhari di dalam kitab shohinya dari sahabat Anas bin Malik AS dari nabi Muhammad Saw beliau bersabda :

العبد اذا وضع فى قبره وتولى وذهب عنه اصحابه حتى أنه يسمع قرع نعالهم اتاه ملكان فيقولان له : ما كنت تقول فى هذا الر جل محمد ؟, فيقول : أشهد أنه عبد الله ورسوله , فيقول انظر الى مقعدك من النار, أبدلك الله به مقعدا من الجنة .


?Seorang hamba Allah ketika ia disemayamkan di dalam kuburnya dan sahabat-sahabat yang mengantarkan jenazahnya berpaling dan kembali pulang hingga ia masih dapat mendengar suara detak sandal mereka, tiba-tibalah datanglah dua Malaikat menghampirinya. Keduanya lantas bertanya (kepadanya) : Apa komentar anda tentang seorang laki-laki yang bernama ?Muhammad?. Dia menjawab : Sesungguhnya beliau adalah hamba Allah yang menjadi utusan-Nya, selanjutnya dikatakan kepadanya : Lihatlah tempat-tempat (tempat tinggalmu) di neraka, Allah telah menggantikan tempat itu dengan suatu tempat yang bernama surga?.


Rasulillah Saw bersabda : ?Seorang yang telah mati itu dapat menyaksikan dan tempat tinggal yang diperuntukkan kepadanya (tempat dineraka dan tempat surga) sekaligus?. Sedangkan orang kafir atau munafiq ia hanya berkata : ?saya tidak tahu, bagaimana saya harus mengatakan apa yang dikatakan oleh manusia ? kemudian dikatakan kepadanya : Tidak mungkin kamu tahu, karena kamu tidak membacanya. Kemudian mereka (orang-orang kafir atau munafik) itu dipukul dengan palu dari besi tepat pada bagian anggota yang ada diantara kedua telinganya dan menjeritlah ia dengan suara keras, sehingga apa saja yang ada disekelilingnya dapat mendengar suara jeritan tersebut kecuali dua makhluk penghuni bumi yakni manusia dan jin?.

وروى البجارى عن أبى سعيد الحدرى رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذا وضعت الجنازة واحتملها الرجال على أعناقهم, فان كانت صالحة قالت : قدمونى , فان كانت غير صالحة قالت يا ويلها أين تذهبون بها ؟, يسمع صوتها كل شىء الا الانسان , ولو سمعه صعق .


Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Said Al Khudri RA sesungguhnya rasulullah Saw bersabda : ?Ketika jenazah diletakkan dalam keranda dan beberapa orang memikulnya di atas pundak mereka, maka ketika jenazah itu termasuk hamba yang shalih, maka ia akan berkata percepatlah perjalanan kalian semua, tetepi sebaliknya bila jenazah itu bukan hamba yang shalih, maka ia merintih ............. aduh ! sungguh kecelakaan menimpa diriku, kemanakah kalian pergi membawa jenazahku ? Pada saat itu segala apapun yang ada dapat mendengar suara itu kecuali manusia, seandainya manusia dapat mendengar suara itu niscaya ia akan pingsan?.


Demikian juga diriwayatkan oleh Imam Al ? Bukhari dari sahabat Al ? Laist bin Said, sebagaimana esensi makna verbal hadits di muka. Beliau berkata : ?Jenazah itu mengeluh kepada keluarganya : Aduuh ........ bencana menimpa diriku?. Sahabat Al ? Lais dalam riwayatnya melanjutkan : ?Seandainya manusia dapat mendengarkan rintihan itu niscaya ia akan pingsan seketika?.


Sebuah riwayat dikisahkan oleh Imam Al ? Tabrani di dalam kitab Al ? Ausad dari sahabat Abi Said Al ? Khudri RA. Sesungguhnya nabi Muhammad Saw bersabda : ?Sesungguhnya mayit mengetahui siapa saja yang memandikannya, orang yang menggendongnya atau memikulnya, mengkafaninya, dan orang yang memasukkannya ke liang kubur?.


Sahabat Said bin Jubair RA berkata : ?Apa saja yang diceritakan oleh orang yang hidup, informasi itu juga akan sampai kepada orang-orang yang telah mati, maka tidaklah seorangpun yang memiliki ikatan tali cinta kasih kepada kerabatnya kecuali berita tentang keadaannya akan sampai juga kepada mayit. Apabila kabar kerabat itu berupa kebaikan, maka mayit ikut merasakan kesenangan dan berbahagia. Namun bila yang terjadi dalam keluarga kerabatnya adalah keprihatinan atau ketidakharmonisan, maka mayit itupun tampak tak ceria dan bersedih hati?.


Imam Ibnu Munabbih RA berkata : ?Sesungguhnya Allah Swt membangun sebuah rumah di langit yang ketujuh dan Dia memberinya nama ?Al Baidho?. Di rumah itulah ruh-ruh orang Mukmin yang telah meninggal dunia berkumpul, ketika salah seorang Mukmin dari penduduk ahli dunia wafat, maka arwah-arwah itu menjemputnya dan merekapun lantas menanyakan bagaimana cerita, khabar dan informasi tentang kondisi dunia dan penghuninya sebagaimana pertanyaan yang seringkali terjadi dan dipertanyakan oleh seorang musaffir yang pergi meninggalkan sanak saudaranya dan kerabatnya, ketika ia datang dari bepergiannya?.

(HR. Abu Nu?aim di dalam kitab Al ? Hilyah )


Berkaitan dengan munculnya kehidupan baru dengan kembalinya ruh kepada jasadnya sebuah riwayat datang dari sahabat Al ? Barra? bin Azib RA. berupa hadits panjang yang menerangkan kewajiban-kewajiban yang muncul pada orang-orang yang telah meninggal dunia termasuk sebuah hadits yang menjelaskan tentang kembalinya ruh pada jasad, Imam Al ? Barra? menjelaskan : Pada suatu waktu saya keluar bersama Rasulillah Saw untuk hadir memberikan penghormatan pada jenazahnya seorang laki-laki dari sahabat Anshor, lantas kami mendatangi kuburan, pada saat itu liang kubur belum digali, kemudian Rasulillah Saw duduk, kami bersama sahabat yang lain juga duduk dengan tenang penuh hikmah di sekitar rasulillah seolah ada seekor burung di atas kepala kami hingga tak berani menengadah. Tiba-tiba nabi mengangkat pandangannya, sorot matanya lepas memandangi langit, kemudian beliau menundukkan kembali pandangannya dan menyaksikan bumi, kemudian nabi berdo?a : ?Aku mohon perlindungan-Mu Ya ...... Allah dari siksa alam kubur?. Rasulillah melafadzkan do?a ini berulang-ulang, lantas beliau bersabda : Sesungguhnya seorang hamba yang Mukmin ketika ia memasuki pintu menuju akhirat dan berpisah dengan alam dunia maka datanglah seorang Malaikat menghampirinya. Ia duduk tepat di sisi kepalanya dan berkata :

أخرجى ايتـها النفــس المطــمئنة الى مغفـــرة من الله ورضــوان

?Wahai Nafsu Al Mutma?innah keluarlah kalian menuju ampunan dari Tuhanmu dan menerima Keridloan-Nya?. Maka ruh itupun keluar, ia mengalir bagai tetesan hujan. Pada saat itulah para Malaikat penghuni surga turun mengerumuni orang yang hendak wafat itu. Dengan wajah-wajah mereka yang putih bersih dan berseri-seri seolah-olah wajah mereka begitu ceria bagaikan cerah mentari dipagi hari, mereka datang dengan membawa kain-kain kafan dari surga dan minyak-minyak wangi dari pengharum surga, mereka semuanya duduk dengan rapinya, sepanjang sorot mata mereka memandang lepas, dan ketika ruh ?Nafsu al ? Mutmainnah? itu dicabut oleh seorang Malaikat, maka para Malaikat itu menyambut ruh tersebut dengan menghimpunnya dalam genggaman dan tidaklah mereka melepaskannya sekejap matapun. Hal ini sebagaimana terungkap dalam firman Allah Swt :

توفتــــه رســـلنا وهــــم لايفرطـــــون

?Para Malaikat-Ku mewafatkan seorang hamba, dimana sedikitpun mereka tidak berbuat kasar".


Rasulillah Saw berkata : Maka keluarlah nafas / ruh seorang hamba itu seperti bau semerbaknya minyak wangi, lantas Malaikat membawa naik ruh seorang hamba itu, dan Malaikat itupun tidak datang pada sekumpulan manusia. Pada sebuah riwayat dikisahkan; bahwa ruh yang dibawa oleh Malaikat itu senantiasa melintasi ruh-ruh umat terdahulu dan generasi-generasi yang telah mandahuluinya bagaikan kumpulan belalang yang berhambur diantara langit dan bumi. Segerombol belalang itu seraya berkata : ?Ini ruh siapa ?, maka dikatakanlah bahwa ruh itu adalah ruh si Fulan dengan menyebut nama terbaiknya hingga para Malaikat itu sampai di pintu langit terendah, maka pintu itupun dibuka mempersilahkan ruh seorang hamba yang Mukmin itu. Para Malaikat penjaga langit itupun lantas mengantarkan ruh itu menembus langit demi langit hingga sampai ke langit ke tujuh. Kemudian Allah berfirman :

أكتبوا كتابه فى عليين , وما أدراك ما عليون , كتاب مرقوم, يشهده المقربون

?Tuliskanlah (wahai para Malaikat) catatan amalnya (seorang hamba Mukmin) itu pada buku catatan amal kebaikannya yang tinggi ! Apakah yang anda ketahui tentang apa arti ?Illiyyun ? Ia adalah kitab catatan amal yang diukir dengan segala keindahan dan yang akan menyaksikannya adalah para Malaikat ?Al - Muqarrabin? disalinlah amal kebaikan seorang hamba untuk di bukukan? .